Saturday 2 July 2022

MAKALAH TAKHALLI DALAM TASAWUF

                                                    TAKHALLI DALAM TASAWUF

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok  mata kuliah “Ilmu Tasawuf dalam Al-qur’an”

Dosen pengampu: Dr.H.Badruddin,M. Ag



Disusun Oleh:

AGUNG NURUL MU’JIZAT (181320048)

ABDUSSALAM (181320050)

M.RIZKI ZULKARNAEN ( 181320047)

KELAS : IAT/III/B

FAKULTAS USHULUDHIN DAN ADAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN

BANTEN TAHUN AKADEMIK 2019/2020


  1. Pengertian Takhalli

Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotor hati, maksiat lahir dan maksiat batin serta mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan kehidupan duniawi. Pembersihan ini dalam rangka, melepaskan diri dari perangai yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Sifat-sifat tercela ini merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah. Dalam berhubungan dengan allah, seorang hamba haruslah memiliki batin/ hati yang suci terlebih dahulu, biasa dalam ilmu taswuf disebut riyadhah.

Takhalli berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Dalam hal ini manusia tidak diminta untuk menjauhi dunia secara total melarikan diri dari dunia dan tidak pula menghilangkan hawa nafsunya. Tetapi, tetap memanfaatkan dunia sebagai sekedar kebutuhanya dengan mengendalikan hawa nafsu yang berlebih terhadap dunia dan mencari dunia sebagai sarana utuk beribadah kepada Allah swt. Ia tidak menyerah kepada setiap keinginan, tidak mengumbar nafsu, tetapi juga tidak mematikanya. Ia menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya, sehinga tidak memburu dunia dan tidak terlalu benci kepada dunia. 

  1. Landasan/ Dalil-dalil tentang takhalli

 Ada banyak dalil yang menyinggung tentang persoalan ini yang terdapat dalam al-qur’an maupun hadis. Namu, penulis hanya dapat memaparkan sedikit dari apa yang terkandung baik dalam al-Qur’an maupun hadis.

  1. Qur’an surat As-Syams ayat 9-10

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا 

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (qs. As-Syams: 9-10).

Dalam ayat tersebut secara tegas Allah berjanji kepada hambanya yang memiliki jiwa yang secara sempurna menunaikan tugasnya—menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala laranganya—akan mendapatkan suatu keberuntungan yang diraih seorang hamba di sisi Allah swt. Keberuntungan disini bukan hanya semata didapat dari dunia saja, dimana manusia yang telah berusaha menyucikan dan telah sampai pada kesucianya, akan mendapatkan ketenangan hidup dalam dirinya. Hidup yang tidak ada kebingungan, kegelisahan, keraguan, optimis, dan tidak ada rasa takut dikarenakan didalam hatinya Allah selalu membersamainya. Adapun keberuntungan yang didapat seorang hamba ynag bersih dari segala sifat buruknya kelak di akherat akan digolomgkan sebagai hamba yang memiliki jiwa/ hati yang selamat yang pantas mendapatkan surganya Allah swt. 

Sebaliknya, Allah menerangkan dalam ayat selanjutnya bahwa kerugian akan menghampiri seorang hamba jika lalai dan mengotori jiwanya dengan segala kemaksiatan, kecintaan yang berlebihan terhadap duniawi dan segala akhlak tercela. Seorang yang demikian, hidup dan matinya tidak akan mendapatkan suatu kenikmatan yang diberikan Allah swt. Didunia ia terbuai dengan kenikmatan duniawinya dan menuruti hawa nafsunya yang membuat kehilangan jati dirinya sebagai hamba yang suci. Begitupun di akhirat ia tidak memperoleh kenikmatan yang diprolehnya ketika ia di akhirat.  

Selaras dengan pernyataan diatas Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di dalam tafsir as-Sa’adi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan { قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا }” maka menanglah orang yang menyucikan jiwa, yaitu dengan ketaatan kepada Allah. Begitupun yang terdapat dalam Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan  Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdillah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah dan dirasah Islamiyah Universitas Qashim mengatakan bahwa  وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا (dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya) Yakni merugilah orang yang menyesatkan dan memalingkan jiwanya dari Allah dan tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah dan amalan shalih.

  1. Qur’an surat Asy-Syu’araa ayat 87-89

وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ ، يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ ، إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ


“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu`araa’: 87-89)

Hati yang selamat adalah hati yang bersih atau hati yang selamat dari perbuatan syirik kepada selain Allah dalam bentuk apapun, bahkan ibadah hanya boleh untuk Allah semata yaitu irodah (keinginan), cinta, tawakal, inabah, (kembali), tunduk, takut, dan rasa harap hanya ditujukan kepada Allah semata. Hati yang selamat juga dapat diartikan sebagai selamat dari segala macam bentuk syahwat uang menyalahi perintah Allah atau menerjang larangaNya, hati itupun selamat dari berbagai syubhat yang menyimpang di mana hati yang selamat akan berpaling dari peribadahan kepada selain Allah, selamat dari berhakim selain ajaranrosul-Nya.
Setiap anggota badan akan ditanya pada hari Kiamat. Hatinya akan ditanya tentang apa yang terlintas, apa yang difikirkan, dan apa yang diyakininya. Pendengaran akan ditanya tentang segala hal yang didengarnya, dan seterusnya.     


  1. Surat Al-A’laa ayat 14-15


قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ


“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Rabb-nya, lalu ia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi Ayat 14-15 “sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),” yakni menang dan beruntunglah orang yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezholiman, dan akhlak-akhlak tercela. “dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia shalat,” yakni orang yang memiliki sifat selalu ingat kepada Allah Swt dan hatinya terpatri dengan dzikir sehingga hal itu mengharuskannya mengerjakan sesuatu yang diridhoi Allah Swt khususnya shalat yang merupakan neraca keimanan. Inilah makna ayat di atas. Sedangkan yang menafsirkan Firman Allah Swt, “orang yang membersihkan diri,” dengan arti mengeluarkan zakat fitrah dan “dia ingat nama Rabbnya, lalu dia shalat,” sholat ‘Id, meski penafsiran tersebut termasuk dalam kata-kata shalat dan sebagian dari cabangnya, tapi maknanya bukan hanya sesempit itu saja.
 

  1. Sempurna akhlak tanda kuatnya iman

Sebagaimana kita tahu bahwa diutusnya nabi Muhammad saw ke muka bumi membawa misi yang sangat mulia yaitu untuk menyempurnakan akhlak. 

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”

Sesungguhnya antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat hubungan yang sangat kuat sekali. Karena akhlak yang baik sebagai bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman, semakin sempurna akhlak seorang Muslim berarti semakin kuat imannya.

  1. Baik buruknya manusia tergantung hati

 أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِم 

Ketahuilah sesungguhnya didalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.'” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sebagian ulama mengumpamakan hati bagaikan seorang raja. Jika rajanya baik maka baiklah rakyatnya, dan jika rajanya rusak maka rusaklah seluruh rakyat. Hanya saja, menurut kalangan ulama peneliti, perumpamaan ini tidak tepat, karena bisa saja seorang raja mengeluarkan suatu perintah namun tidak ditaati. Berbeda denganhati, kala hati telah memrintahkan sesuatu, tubuh pasti menurut. Karena itu, perumpamaan hati bagi tubuh secara keseluruhan, jauh lebih fasih daripada perumpamaan seorang raja kala memerintahkan rakyat. Saat hati baik, seluruh tubuh pasti juga baik. Dan jika hati rusak, rusak pula seluruh tubuh.

  1. Tanda-tanda awal kesuksesan pelatihan spiritual (Riyadhah)

Tazkiyah al-nafsitu adalah merupakan suatu upaya untuk menjadikan hati menjadi bersih dan suci, baik dzatnya, maupun keyakinannya” 

prinsipmujahadahpada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjang waktu.Selain harus melakukan mujahadah, untuk dapat mendekatkan diri kepadaAllah yaitu harus melakukan riyadhah. Yang dimaksudriyadhahmenurut Ash-Shidiqi ialah latihan kerohanian dalam melaksanakan hal-hal yang terpuji, baikdengan cara perkataan, perbuatan maupun dengan cara penyikapan terhadap hal-hal yang benar, yang dilakukan dengan tiga macam cara menurut tingkatan kedekatanhamba dengan Tuhannya  Tiga macam cara tersebut,yaitu:Pertama,riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya untuk berbuatbaik dengan cara berusaha memahami perbuatan yang dilakukannya, berbuat dengansikap yangikhlash,tidak tercampur dengan sikapriya, dan memperbanyak melakukan kebenaran dalam pergaulan, baik terhadap Allah, terhadap sesamamanusia maupun terhadap lingkungan hidupnya. Kedua,riyadhahorangkhowas(sufi, wali), yaitu upaya agar selalu tetapberkonsentrasi terhadap Allah ketika melaksanakan suatu perbuatan baik, sehinggatidakterpengaruhlagiolehlingkungansekelilingnya,penglihatandanpendengarannya tidak terpengaruh lagi oleh sesuatu yang ada di sekelilingnya,kecuali hanya menuruti tuntunan kata hatinya.Ketiga,riyadhahorangkhowasul khowas(nabi, rasul), yaitu berbuat baikuntuk mendapatkan kesaksian Allah dan ma’rifat atau kebersatuan dengan Allah.Kebersatuan dengan Allah berbeda dengan istilah penyatuan menurut paham wujudiah.Kebersatuan berarti bersatu dengan Allah dalam keadaan wujud masihberbeda, yaitu Allah tetap Al-Khalikdan manusia yang bersatu dengan Allah tetapmakhluk. Termasuk juga prosesriyadhahyang dilakukan oleh peserta tasawuf (al-mutasawwif) ketika melakukan suluk (kegiatandzikirdantafakur) untukmemperoleh kedudukan spiritual (al-maqamat) dan kondisi spiritual (al-ahwal)hingga mencapaima’rifahsebagai tujuan tasawuf.


  1. Faktor penghalang dalam melakukan tazkiyatu al-nafsi

Maksiat adalah sikap durhaka,atau menentang haq, hukum dan ketentuan Allah Swt  dengan kata lain, melakukan perbuatan dosa dengan melalaikan perintah Allah swt melakukan/melanggar larangan-Nya dan tidak ridha menghadapi musibah dan ujia-Nya. Menurut pembagianya maksiat dibagi menjadi dua yaitu; maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah perbuatan maksiat dan dosa atau melanggar hukum-hukum Allah yang dilakukan oleh anggota jasad atau tubuh kasar. Misalnya maksiat mata, perut, kemaluan, tangan, kaki, telinga,lisan, dan sebagainya. Adapun maksiat batin ialah perbuatan menentang hak dan hukum Allah swt yang dilakukan oleh batin atau hati nurani, sehingga dapat mempengaruhi fitrah batin daam mengemban amanah amanah-Nya. Hati pendosa dan tukang maksiat menjadi buta dan gelap serta tidak mampu memandang rahasia ketuhanan—rahasia yang menjadikan manusia pandai dan mahir memahami ilmu tentang seluk-beluk hakikat dan ma’rifat. Ada beberapa maksat batin yang berbahaya bagikecerdasan hati, jiwa atau ruh, antara lain:

  1. Bakhil (kikir) sifat bakhil atau kikir adalah keengganan atau tidak adanya keinginan memberi atau mengeluarkan sebagian hartanya untuk fakir miskin dan orang yang sangat membutuhkanya 

  2. . cinta dunia, harta, dan pangkat

Termasuk diantara sifat yang dapat merusak akhlak mulia dan menodai cermin batin manusia adalah cinta pada dunia, harta, dan pangkat. Orang yang tergila-gila dan mengejar-ngejar ketiganya biasanya juga mempunyai penyakit bakhil atau kikir. Orang yang mencintai semua itu dengan memburunya akan cenderung dan berangan-angan dapat meraihnya. Jika demikian, ia sedang berda pada kondisi yang sangat membahayakan kemurnian fitrah jiwa, hati, dan ruhnya, bahkan akan mendapat ancaman azab dan bencan kemurkaan Allah swt baik saat berada didunia dan lebih-lebih di akhirat kelak. 

  1. .dendam (tidak lapang dada) 

Dendam ialah suatu keinginan atau sikap tidak lapang dada terhadap musuh atau orang yang menyakitkan hati. Yeitu, memberi maaf denganlapang hati kepada siapa saja yang berbuat sesuatu yang terasa menyakitkan jasad atau ruhani. 

  1. . Hasad (Dengki atau Iri Hati) 

Hasad, dengki, atau iri hati ialah perasaan benci terhadap orang lain yang diberi nikmat dan mengharapkan agar nikmat tersebut segera lenyap dari orang itu dengan harapan dapat berpindah kepadanya,

  1. . PONGAH (Sombong, Angkuh, dan Tinggi Hati)

Sifat dan sikap mengagungkan diri dengan membusungkan dada dan membangggakan diri termasuk juga penyakit yang membahayakan kesucian batin yang dapat menghalangi seorang hamba yang ingin berjumpa Allah itulah karakter setan dan iblis yang bersikap angkuh dihadapan Allah swt yang berani membantah perintah-perintah-Nya. Manusia yang mempunyai sikap dan sifat semacem ini tidak ubahnya setan dan iblis yang berwajah manusia.  






KESIMPULAN

Jiwa yang mulia, tidaklah ridha terhadap sesuatu, kecuali terhadap sesuatu yang paling tinggi, paling mulia dan paling terpuji (paling baik) hasil akhirnya. Adapun jiwa yang rendah, dia hanya berputar di sekeliling perkara yang hina, dia menghampiri perkara hina itu sebagaimana lalat menghinggapi kotoran. Jiwa yang mulia dan tinggi, tidak akan ridha terhadap tindak kedzaliman, hal yang vulgar, pencurian, dan pengkhianatan, karena jiwanya lebih besar dan lebih mulia dari itu semua. Sedangkan jiwa yang hina dan rendah, berkebalikan dengan hal itu. Maka setiap jiwa akan cenderung kepada sesuatu yang selaras dan sesuai dengannya.” 




















DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, M. b. (2012). Syarah Hadis Arba'in. Solo, Indonesia: Ummul Qura.

Anonim. (t.thn.). -ahlusSunnah-wal-jamaah-mengajak-manusia-kepada-akhlak-yang-mulia-dan-amal-amal-yang-baik. Dipetik september 21, 2019, dari Almanhaj: https://almanhaj.or.id/1299-ahlus-sunnah-wal-jamaah-mengajak-manusia-kepada-akhlak-yang-mulia-dan-amal-amal-yang-baik.html

Anonim. (t.thn.). Surat As-Syams Ayat 9. Dipetik september 21, 2019, dari Tafsir Web: https://tafsirweb.com/12747-surat-asy-syams-ayat-9.html 

Bahrudin. (2015). Ahlak Tasawuf. Serang: IAIB PREES.

Fahrudin. (2004). Pendidika Agama Islam. Tasawuf132Jurnal, 12, 2.

Hamdani. (2007). Rahasia Sufi Bertemu Tuhan. Yogyakarta: Al-Furqan.

Pentingnya Tazkiyatun Nufus. (t.thn.). Dipetik september 21, 2019, dari Muslimah: https://muslimah.or.id/7956-pentingnya-tazkiyatun-nufus.html







AKHLAK TASAWUF

DAFTAR ISI

  1. Syariat Dan Thariqot

  2. Hakikat Makrifat

  3. Makrifat Dan Ahwal

  4. Takhali, Tahali, Dan Tajali

  5. Riyadoh

  6. Muraqobah

  7. Muqorrabah

  8. Mahabah

  9. Ittihad

  10. Hallul

  11. Waliyullah Dan Insan Kamil

DAFTAR PUSTAKA




PEMBAHASAN

SYARI’AT DAN THORIKAT

  1. Pengertian Syari’at Dan Thorikat

  1. Syariat

Syaariat dari segi bahasa artinya tata hukum didasari bahwa di dalam alam semesta ini tidak ada yang terlepas dari hukum. Dalam hal ini, termasuk manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai hamba Tuhan, perlu di atur dan di tata sehingga tercipta keteraturan yang menyangkut hubungan Antara manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Maha Pencipta.

Dalam ajaran islam, melaksanakan aturan dan ketentuan hukum tanpa menghayati dan memahami tujuan hukum, maka pelaksanaannya tidaklah memiliki nilai yang sempurna. Dalam kaidah ini tujuan hukum adalah kebenaran (hakikat).

Pengamalan agama oleh kaum sufi berwujud amal ragawi berupa ibadah sesuai dengan syari’ah dan berwujud aktifitas rohani. Akan tetapi dalam proses menuju peningkatan maqam dan hal, titik berat kegiatan ditampilkan pada kegiatan rohani dalam hal ini diantara sufi ada yang beranggapan bahwa syariat hanyalah alat, oleh karena itu jika tujuan telah tercapai maka alat tidak di perlukan lagi. Paham ini di koreksi oleh seorang sufi juga yaitu Abu al-Qasim al-Qusyairi (w.1072M) yang menyatakan bahwa tidak benar orang menuju hakikat dengan meninggalkan syariat.

Menurut kaum sufi, syariat itu kumpulan lambang yang memiliki makna tersembunyi.

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan manusia ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan ini.

Syariat yaitu segala aturan yang sudah di tentukan oleh Allah SWT, atau aturan yang sudah di legalisasi oleh Rasulullah SAW yang berkenan dalam soal akidah, masalah hukum baik haram, halal, syariat rukun dan sebagainya yang emngatur hubungan manusia dengan penciptaan-Nya dan sesama manusia.

  1. Thariqat

Untuk mencapai tujuan tertentu memerlukan jalan dan cara. Tanpa mengetahui jalannya, tentu sulit untuk mencapai maksud dan tujuan. Hal ini di namakan Thariqat, dari segi persamaan katanya berarti “Madzhab’’ yang artinya “jalan’’. Mengetahui adanya jalan perlu pula mengetahui “cara’’ melintas jalan agar tujuan tidak tersesat.

Tujuan adalah kebenaran, maka cara untuk melintas jalan harus dengan benar pula. Untuk ini harus ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, sehingga perlu adanya latihan-latihan tertentu dengan cara tertentu pula.

Penekanan dalam Tahriqat itu merupakan petunjuk dalam melakukan ibadah sesuai dengan ajaran yang di tentukan dan di contokan oleh Nabi SAW dan di kerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru (Mursyidin). Dengan demikian peraturan-peraturan yang terdapat dalam ilmu syariat dapat di kerjakan pelaksanaannya.

Dan seperti yang di kemukakan oleh Syekh Zainuddin Bin Ali Al-Malibari dalam Hidayatu Al-Adzkiya ila Thariqi al-Auliya : “Thariqat adalah menjalankan amal yang lebih baik, berhati-hati dan tidak memilih kemurahan (keringanan) syara’’, seperti bersikap wara’, dan riadhah dengan ketetapan hati yang kuat.

  1. Ayat-ayat Al-Quran Tentang Syariat Dan Thariqat

  • Q.S Ash-Shura: 13

۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ

“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah di riwatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (Agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).’’

  • Q.S Al-Jatsiyah: 18

ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ  

“Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat) itu dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.’’

  • Q.S Al-Maidah: 48

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

“Dan kami telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang di turunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang di turunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu,  kami berkan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu di jadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalammelakukan kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu di beritahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan’’


  • Q.S Al-Fatihah: 6

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”


  • Q.S Al-Fatihah: 7

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

“Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya bukan pula jalan orang-orang yang engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat’’

  1. Hadits-hadits Syariat dan Thariqat

سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه وسلم –والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف في جور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال لايعمل حتى يسأل ما يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم

“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki kitab yang memuat sabda Nabi SAW, perkataan para sahabat, dan Tabi’in namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang sahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh di amalkan dari kitab-kitab tersebut, hingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.’’ (I’lam al-Muwaqqi’in 4/206).

  1. Qaul Ulama

  • Imam Ibnu Rajab al-Hambali R.A

فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان

“Para Imam dan Ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.’’

  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah R.A

لا يجوز أن يعتمد في الشريعة على الأحاديث الضعيفة التي ليست صحيحة ولاحسنة

“Syariat ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan’’ (Majmu’ al-Fatwa 1/250)


HAKIKAT DAN MAKRIFAT

  1. Pengertian Hakikat

Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat (Haqiqah) seakar dengan kata al-Haqqrealityabsolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi

Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik.

Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan

Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik Sementara penafsiran Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana banyak para sufi menyebut diri mereka ‘ahl-haqiqah’ dalam pengertian sebagai pencerminan obsesi mereka terhadap ‘kebenaran yang hakiki’ (kebenaran yang esensial). Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj (w. 922) yang mengungkapkan kalimat ‘ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan). Obsesi terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula ‘la ilaha illa Allah’ yang mereka artikan ‘tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah’. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan. Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan pemberi wujud. Pernyataan ‘la ilaha illa Allah’ ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep ‘fana’ , atau ‘fana al-fana’ yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fana’ dan baqa’ ini dipandang sebagai ‘stasion’ (maqam) terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, “Lobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.

  1. Fana’ dan Baqa’ sebagai ciri khas Hakikat

Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj (w.922) yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan ‘Ana al-Haqq’ yang berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat ‘la ilaha illa Allah’ tidak lagi kita artikan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, melainkan ‘Tidak ada realitas (hakikat) yang sejati kecuali Allah’. Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu.

Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan ‘fana’. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqa’, saat ketika seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki.

Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak  Persia,

The true lover finds light only if, like the candle, he is his own fuel, consuming himself. Attar of Neishapur (w. 1230)

Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya sendiri, memakan dirinya sendiri.  

Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan gambaran seekor ngengat (yang diumpamakan sebagai jiwa manusia) yang sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin (yang diumpamakan sebagai Kebenaran) hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah konsep mengenai fana dan baqa’. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ‘annihilation’, ‘extinction’, atau ‘cessation of being’, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata kerja ‘to be’, dan mengacu pada istilah Jerman tradisional Entwerden, ‘de- becoming’, sebagai yang lebih akurat Nah, di sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar.

Fana’ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika proses ini selesai, maka ‘baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi pun terbangun – kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, ‘kesatuan’ dengan Tuhan. Konsep mengenai fana’ dan baqa’ ini telah ditafsirkan sebagai kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas (salah satu pengertian dari tarekat) atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan Tuhan.

  1. Ayat-AyatTentang hakikat :

Agama Islam, agama yang dengan bangga kita menisbatkan diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Dialah agama Islam yang difirmankan oleh Allah:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imran : 19].

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imran : 85].

Ayat ini merupakan dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim dan merupakan syari’at yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama yang haq, agama yang diterima dan agama penutup. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”.

Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian khusus adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka maksudnya adalah agama Nabi Muhammad n . Sedangkan makna umumnya, yaitu agama semua nabi yang mengajarkan tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman Allah.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” [Al An’am : 162-163].

Pasrah, menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing nabi adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara khusus, yang karenanya Al Qur’an diturunkan, yaitu tunduk patuh kepada Allah dan taat kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat.

Di dalam Al Qur’an, Al Fatihah, surat terbesar dalam Al Qur’an, yang menjadi rukun shalat, dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits: “Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak kecil apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini, ialah agama yang dianut oleh para nabi, para shiddiq, syuhada dan kaum shalih, seperti firman Allah.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An Nisa’: 69].

Telah shahih di dalam As Sunnah, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”, Beliau mengatakan, yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani.

Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan mengatakan bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima, tetapi sifat agama, maka ini tertolak dan batil. Yang Pertama, ia tertolak oleh Al Qur’an surat Ali Imran ayat85:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dalam ayat ini, kata Islam terkait dengan nama dan sebutan, bukan dengan sifat dan sikap. Yang Kedua, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menafsiri surat Al Fatihah tadi.

Seandainya kita katakan bahwa setiap agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan adalah diterima, tentu tidak ada bedanya antara agama Islam, Yahudi, Nasraniyah dan agama keberhalaan, sebab para penyembah berhala itupun berniat menyembah Allah. Bukankah mereka mengatakan.

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. [Az Zumar : 3].

Jadi, mereka mengaku bertaqarrub (mendekatkan) kepada Allah. Tetapi ucapan mereka ini batil dan rusak, kesesatan yang nyata yang sangat jelas di depan mata, dan tidak memerlukan bantahan. Namun demikian kami telah membantahnya.

Guna menguatkan yang haq dan menumbangkan yang batil, Allah telah berfirman.

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ

Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya).[Al Anbiya’ : 18].

Maka berikut ini kami sebutkan satu ayat dan dua hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. [Al Baqarah:120]. 

  1. Pengertian Makrifat

Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat dari beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai berikut:

  • Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain. Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat;

  • Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah menguasai syari’at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti thariqah dari mistik, dan ‘jalan’ yang mengantarkan pada pengetahuan yang lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat, kebenaran, atau makrifat, gnosis.

Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami sebagai suatu stasion atau keadaan (state),

First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge that comes after that asceticism. The ultimate ‘knower’ is worth a hundred thousand ascetics.

Jalal al-Din Rumi. Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan. kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami, menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas.  Akan tetapi, berhubungan dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi. 

Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan. Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya.

Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafah (cemas terhadap Tuhan) dan mahabbah (cinta). Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual (thariqat). Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati.

Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam:

  1. Pertama, makrifat kalangan orang awam (orang banyak pada umumnya), tauhid melalui syahadat.

  2. Kedua, makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena  alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran.

  3. Ketiga, makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. Dan makrifat inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini.

Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya. Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at, hukum Allah untuk kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke dalam hakikat (kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensi). Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang disebut ‘makrifat’ (pengetahuan).

Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan usaha keras dalam waktu yang panjang. Baik lewat meditasi, tazkiyatun nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik.

Zybura dalam esainya mengatakan bahwa selain dari 3 tingkatan yang telah dideskripsikan dalam pencarian menuju kesatuan dengan Tuhan, ada lagi tahapan-tahapan yang lebih banyak yang secara umum dibedakan sebagai stasion (station/ maqam). Pencapaian pada tiap maqam tergantung kepada perbandingan dari anak tangga-anak tangga yang kita daki dengan upaya kita sendiri, dan ‘kondisi’ (state/ahwal) sendiri merupakan hadiah dari Tuhan yang lebih sulit lagi untuk diklasifikasikan.

Untuk lebih jauh membahas mengenai makrifat ini, penulis memilih untuk memaparkannya melalui penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara.

  1. Pengetahuan Sejati dan Perbedaannya dengan Ilmu Pengetahuan

Yang dimaksud dengan makrifat sebagai pengetahuan sejati/hakiki tidak sama dengan ‘ilm yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan. Pertama-tama yang membedakannya adalah cara perolehannya dimana ilmu pengetahuan diperoleh secara hushuli (melalui mediasi/representasi, tidak secara langsung). Sementara makrifat diperoleh secara hudhuri, langsung hadir dalam intuisi manusia dan dialami secara langsung. Perbedaan lainnya terletak pada objek dari pengetahuan itu sendiri. Adapun objek dari ilmu pengetahuan adalah objek-objek yang bersifat fisik, sementara objek dari makrifat kebanyakan bersifat non-fisik. 

Dari segi objek, meskipun ilmu-ilmu rasional juga sama-sama menangkap ma’qulat, sebagaimana intuisi, tetapi cara di antara keduanya berbeda. Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai ‘penyingkapan’ (mukasyafah) atau ‘penyinaran’ (iluminasi) dan ‘penyaksian’ (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.

Secara sederhana Mulyadhi Kartanegara memberikan analogi mengenai bahwa kepastian intuitif yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang dialami secara langsung laksana orang yang mengetahui manis dengan mencicipi butiran gula. Kita tidak dapat mengetahui rasa manis melalui pengkajian akan definisi atau konsepsi mengenai manis. Atau pun melalui membaca buku-buku tebal yang menjelaskan mengenai rasa gula maupun asal usul gula. Selama apa pun kita pelajari semua itu selama lidah kita tidak merasakannya sendiri maka kita tidak akan pernah mengetahui rasa manis yang sebenarnya. Karena manis tidak bisa kita ketahui melalui rangkaian huruf dari kata M.A.N.I.S. Untuk mengetahui manis maka kita harus mendatangi yang empunya manis itu sendiri (gula), dan merasakannya sendiri secara langsung.

Kesatuan pengetahuan dan yang diketahui dijelaskan dengan ilmu hudhuri bahwa objek diketahui secara langsung setelah dihadirkan dalam kesadaran jiwa seseorang. Ketika objek hadir dalam kesadaran diri maka objek itu dapat teridentifikasi dengan diri sendiri, ketika itu terjadi maka objek-objek itu menjadi dirinya, maka keintiman pengetahuan itu kini sama dengan terhadap diri sendiri, sementara pengetahuan tentang diri sendiri dapat kita ketahui secara langsung tanpa harus ada pemilahan antara subjek dan objek. Maka dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini merujuk pada entitas yang sama dan satu: diri kita sendiri.

Makrifat juga diandaikan seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan yang menyilaukan. Bagai kaca yang bersih dan selalu dibersihkan sehingga kemudian cahaya mampu memasukinya dan menerangi jantung rumah dan beriluminasi (menerangi semua yang tersembunyi/ tak nampak).

  1. Analogi Rumi : Makrifat bagai Mutiara di Dasar Laut

Jalal al-Din Rumi pernah mengumpamakan makrifat sebagai mutiara di dalam kerang yang berada di dasar laut karena keindahannya yang membuat banyak orang menyukainya. Menurut Rumi makrifat tidak dapat diperoleh secara inderawi, karena hal itu sama saja dengan mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut dengan hanya datang dan memandangi laut dari darat. Sedangkan makrifat juga tidak bisa diperoleh melalui penggalian nalar, karena hal demikian sama saja dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu sendiri. Agar bisa mendapatkan mutiara makrifat itu, maka dibutuhkan penyelam yang ulung dan beruntung, yakni seorang mursyid yang berpengalaman. Rumi mengatakan butuh pada penyelam yang ulung dan beruntung karena pencapaian itu bergantung pada kemurahan Tuhan. Karena tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba. Menyelam di sini diartikan sebagai menyelami lubuk atau dasar hati kita yang dalam. Karena laut itu begitu dalam, maka dibutuhkan penyelam (mursyid) yang benar-benar professional dalam teknik penyelaman. Cara menyelam inilah yang kita sebut dengan metode intuitif

  1. Ayat-Ayat Tentang Ma’rifat

Sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an dalam surat Al An’am ayat 75-79:

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ -٧٥- فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ -٧٦- فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغاً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ -٧٧- فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـذَا رَبِّي هَـذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ -٧٨- إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ -٧٩-

“Dan demikianlah Kami Memperlihatkankepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langitdan di bumi, dan agar diatermasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Laluketikadiamelihatbulanterbitdiaberkata, “InilahTuhan-ku.”Tetapiketikabulanituterbenamdiaberkata, “Sungguh, jikaTuhan-kutidakmemberipetunjukkepadaku, pastilahakutermasuk orang-orang yang sesat.” Akuhadapkanwajahkukepada (Allah) yang Menciptakanlangitdanbumidenganpenuhkepasrahan (mengikuti) agama yang benar, danakubukanlahtermasukorang-orangmusyrik. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang Menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Q.S. al-An’am: 75-79)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ -٥٦-

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”(Q.S. Al-Dzariyat:56)

ٌ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ -٣٣

 “Makajanganlahsekali-kali kamuterpedayaolehkehidupandunia, dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam  (menaati) Allah.”(Q.S.lukman ayat 33).  

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allâh Azza wa Jalla, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya…, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya.”

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Semakin banyak pengetahuan seseorang tentang Allâh, maka rasa takutnya kepada Allâh pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya (selalu) menjauh dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa) mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakutinya (yaitu Allâh Azza wa Jalla).”

Namun ironisnya, istilah ma’rifatullâh yang agung ini sering disalahartikan dan disalahgunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Lebih parah dari itu, sebagian kalangan justru membawa pengertian istilah ini kepada pemahaman yang sangat menyimpang dan berseberangan dengan syariat Islam yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang-orang ahli tasawuf yang mengklaim bahwa metode pemahaman merekalah yang paling dekat dan mudah untuk mencapai ma’rifatullâh. Akan tetapi, kalau kita amati dengan seksama, ternyata ma’rifatullâh yang mereka maksud bukanlah cara mengenal Allâh Azza wa Jalla melalui wahyu yang diturunkan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ma’rifatullâh yang dikenal di kalangan mereka adalah cara mengenal Allâh Azza wa Jalla yang bersumber dari pertimbangan akal dan perasaan, atau ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok mereka, bahkan berdasarkan khayalan atau mimpi yang kemudian mereka namakan mukassyafah (tersingkapnya tabir) . 

Bahkan sebagian dari para penganut pemahaman sesat ini berani mengklaim bahwa metode yang mereka tempuh dalam mencapai ma’rifatullâh lebih baik dan lebih mudah daripada metode dalam al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini jelas merupakan tipu daya Iblis yang terlaknat untuk menyesatkan manusia dari jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

 

MAQOMAT DAN AHWAL

  1. Pengertian Maqamat

Maqamat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam pandangan Ath-Thusi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dan M. Alfatih bahwa maqamat adalah kedudukan hamba dalam perjalanannya menuju Allah SWT melalui ibadah, dan latihan-latihan rohani (Ar-Riyadhah).

Perjalanan menuju Allah swt. merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah swt. Manusia tidak akan mengetahui penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah swt. Walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (al-iman al-aqli an-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri adzdzauqi

Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt. atau secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyaini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spirituanya di hadapan Allah swt.

Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah swt., jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal dengan maqam (tingkatan).

Maqamat merupakan salah satu konsep yang digagas oleh Sufi yang berkembang paling awal dalam sejarah tasawuf Islam. Kata maqamat sendiri merupakan bentuk jamak dari kata maqam, yang secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi atau tingkatan. Dalam al-Qur’an kata ini maqam yang mempunyai arti tempat disebutkan beberapa kali, baik dengan kandungan makna abstrak maupun konkrit. Di antara penyebutnya terdapat padaQS as-Saffat ayat 164. 

وَمَا مِنَّآ إِلَّا لَهُۥ مَقَامٞ مَّعۡلُومٞ  ١٦٤

“Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu,”

  1. Macam-macam Maqamat

Maqamat dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion, tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalan ke stasion berikutnya. Penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca Alquran, dan dzikir. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri. Oleh karena itu, terjadilah penyucian diri calon sufi berangsur-angsur.

  1. At-Taubat (taubat) 

Taubat merupakan maqam pertama dan paling utama yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam menapakai jalan menuju Allah SWT. Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah SWT. Mengenai taubat ini banyak para sufi yang mempunyai definisi yang bermacam-macam. Al-Junaid mendefinisikan taubat sebagai upaya untuk tidak mengulangi dosa pada masa sekarang. Sufi lainya seperti Syekh Sahal menyatakan bahwa taubat adalah hendaknya seseorang ingat akan perbuatan dosa yang telah ia lakukan pada masa lalu sembari berusaha untuk membersihkan hati dari bisikanbisikan yang mengarahkan kepada perbuatan dosa. Inti dari taubat adalah pengakuan atas segala kesalahan yang telah dilakukan di masa lampau sekaligus berkomitmen untuk selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT di masa yang akan datang.

Ayat tentang taubat :

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا  ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا  ١٠

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams Ayat 9-10)

Tafsir: Dalam kitab al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Imam al Qurthubi menjelaskan bahwa yang termasuk ke dalam golongan kafir dalam ayat ini adalah al-Harits bin Suwad Dalam riwayat lain, selain al-Harits bin Suwaid adalah Abu Amir al-Rahib. Setelah murtad, mereka menyesal dan mengirim surat ke keluarganya kesempatan untuk bertaubat. Ayat ini turun berkaitan dengan adanya kesempatan untuk bertaubat, bila murtadnya baru satu kali. Dengan syarat taubat yang dilakukan itu ditindakalanjuti oleh ishlah (perbaikan dan tidak mengulangi lagi kesalahan yang diperbuat). Allah swt hanya menerima menegaskan, taubat nashuha. Umar bin al-Khathab "Taubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang nashuha. Ia mengatakan, seseorang berbuat dosa, kemudian segera taubat, maka ia semestinya tidak mengulangi dosanya.”

  1. al-Zuhd 

Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Kata Zuhud berasal dari bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang artinya menjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti “perihal meninggalkan keduniawian; pertapaan”. Dalam Alquran, kata zuhud memang tidak digunakan, melainkan kata al-zâhidîn sebanyak 1 kali yang disebut dalam Q.S. Yûsuf/ 12: 20. Meskipun istilah ini kurang banyak digunakan dalam Alquran, akan tetapi banyak ayat Alquran yang mengarah secara tegas kepada makna zuhud, yaitu dapat dilihat dalam penjelasan dalam Alquran mengenai keutamaan akhirat ketimbang dunia.

Ayat Tentang Zuhud

بَلۡ تُؤۡثِرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا  ١٦ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ  ١٧

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S Al-A’la Ayat 16-17)

  1. Al-Faqr 

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Al-faqr (kefakiran) menurut para sufi merupakan tidak memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer; bisa juga diartikan tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah Swt. Adapun menurut Kyai Acmad Al-faqr berarti adanya kesadaran, bahwa diri ini tidak memiliki sesuatu sama sekali yang patut bernilai dihadapan Allah Swt. Bukan saja kekayaan yang berupa harta benda,kekuasaan kepandaian,tetapi amal ibadah yang dilakukan sepanjang hidup ini, juga sama sekali tidak sepatutnya di andalkan, apalagi di banggakan di hadapan Allah Swt

Ayat tentang Faqir

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ  ١٥

 “Hai manusia, kamulah yang berkehendak (memerlukan) kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (Q.S Fatir Ayat 15)

  1. As-Sabr (Sabar) 

Sabar yang didefiniskan oleh alKalabadzi sebagai harapan seorang hamba mengenai kebahagiaan kepada Allah SWT. Sabar merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan. Kesabaran ini memerlukan suatu usaha yang keras dan pantang menyerah, memerlukan waktu yang panjang dan sikap yang hati-hati Sehingga ada sebuah ungkapan sufi mengenai hal ini; “Orang sabar berlaku sabar sampai tercapai kesabaran; maka ia meminta untuk bersabar, sambil berkata; wahai orang yang sabar tetaplah sabar”.

Ayat tentang sabar 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ  ١٥٣

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah Ayat 153)

  1. At-Tawakkal (berserah diri)

Al-Junaid menyatakan bahwa hakikat tawakal adalah merasa bahwa ada dan tidak adanya sesuatu itu semata-mata merupakan kehendak dan kekuasaan Allah SWT, dan karena Allah SWT sesuatu menjadi ada. Syekh Sahal menambahkan bahwa setiap keadaan mempunyai sisi depan dan sisi belakang kecuali tawakal, karena sesungguhnya tawakal itu hanya mempunyai sisi depan saja dan tidak mempunyai sisi belakang. Maksudnya, seseorang hendaknya bertawakal hanya karena Allah SWT bukan yang lainya. Lebih lanjut lagi inti yang terdalam bahwa tawakal adalah meninggalkan segala usaha yang bukan karena Allah SWT. 


Ayat entang tawakal

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ  ٢

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (Q.S Al Anfal Ayat 2)

  1. Ar-Ridha 

Syekh Zunnun al Misri berkata bahwa ridha adalah keadaan hati seseorang yang selalu merasa bahagia dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas dirinya. Sedangkan bagi Ibnu ‘Athaillah, maqam ridha adalah sikap sesorang dalam menampik sikap ikut campur terhadap kehendak Allah SWT. Pasalnya, orang yang ridha telah merasa cukup dengan pengaturan Allah SWT untuknya. Bagaimana mungkin ia akan ikut mengatur bersama-Nya, sementara ia telah meridhai pengaturanNya. Maqam ini adalah maqam yang paling tinggi dalam sistematika maqamat menurut prespektif Ibnu ‘Athaillah.

Ayat tentang ridha

وَلَسَوۡفَ يُعۡطِيكَ رَبُّكَ فَتَرۡضَىٰٓ  ٥

“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Q.S Ad Duha Ayat 5)

  1. Pengertian Ahwal

Teori lain yang hampir sama dengan maqamat yaitu hal(Pluralnya Ahwal). Yang dimaksud hal adalah apa yang didapatkan orang tanpa dicari (hibah dari Allah SWT). sedangkan dalam maqamat didapatkan dengan dicari (diusahakan). Dengan kata lain hal itu bukan usaha manusia, tetapi anugrah Allah setelah seorang berjuang dan berusaha meleati maqam tasawuf. Yang termsuk ahwal antara lain: perasaan dekat, cinta, takut, harap, rindu, yakin, dan puas terhadap Tuhan. Serta tentram dam musyahadah (perasaan menyaksikan kehadiran Tuhan).

Dalam pandangan Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata,5 hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya. Oleh karena itu ada istilah-istilah lain yang termasuk kategori hal, yaitu almuragabat wa al qurb, alkhouf wa alroja (takut dan penuh harap), attuma'ninah (perasaan tenang dan tentram), almusyahadat (menyaksikan dalam pandangan batin), alyaqin (penuh dengan keyakinan yang mantap), al uns (rasa berteman), attawadlu' (rendah hati dan rendah diri), attaqwa (patuh), alwajd (gembira hati), asysyukr (berterima kasih), dan ikhlas. Dengan demikian antara magamat dan ahwal merupakan dua prinsip dalam kajian tasawuf yang tidak bisa dipisahkan. Maqamat dengan usaha dan kerja keras yang maksimal, kemudian hasilnya merupakan anugerah dari Allah SWT berupa perasaan dan keadaan- keadaan (ahwal) yang dialami oleh seorang salik menuju Tuhannya.

  1. Macam-macam Ahwal

Berkenaan tentang konsep ahwal, ada beberapa nama-nama mengenai ahwal yang dirasakan oleh para sufi ketika ia berada pada jalan menuju Allah SWT. Berikut ahwal yang sering dijumpai dari perjalanan para sufi adalah sebagai berikut:

  1. Al-Muhasabah & al-Muroqobah (waspada & mawas diri) 

Waspada dapat diartikan menyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati. Dengan demikian bahwa orang yang merasakan waspada akan selalu memperhatikan segala tingkah lakunya karena sadar bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Sedangkan mawas diri adalah meneliti dengan cermat segala perbuatan yang dilakukan sehari-hari apakah sudah sesuai atau tidak dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Dengan demikian seorang dalam keadaan ini akan selalu mendorong untuk memperbaiki segala prilakunya.

Ayat tentang muhasabah dan muroqobah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ  ١٨

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al Hashr Ayat 18)

قُلۡ إِن تُخۡفُواْ مَا فِي صُدُورِكُمۡ أَوۡ تُبۡدُوهُ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ  ٢٩

 “Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Ali Imran Ayat 29)

  1. Al-Uns (intim) 

Dalam pandangan kaum sufi, sifat al-uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, dan tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat al-uns: Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti hal-nya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaanya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman dengan Allah artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan-Nya.



TAKHALLI, TAHALLI, DAN TAJALI

  1. Pengertian Takhalli  

Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotor hati, maksiat lahir dan maksiat batin serta mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan kehidupan duniawi. Pembersihan ini dalam rangka, melepaskan diri dari perangai yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Sifat-sifat tercela ini merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah. Dalam berhubungan dengan allah, seorang hamba haruslah memiliki batin/ hati yang suci terlebih dahulu, biasa dalam ilmu taswuf disebut riyadhah.

Takhalli berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Dalam hal ini manusia tidak diminta untuk menjauhi dunia secara total melarikan diri dari dunia dan tidak pula menghilangkan hawa nafsunya. Tetapi, tetap memanfaatkan dunia sebagai sekedar kebutuhanya dengan mengendalikan hawa nafsu yang berlebih terhadap dunia dan mencari dunia sebagai sarana utuk beribadah kepada Allah swt. Ia tidak menyerah kepada setiap keinginan, tidak mengumbar nafsu, tetapi juga tidak mematikanya. Ia menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya, sehinga tidak memburu dunia dan tidak terlalu benci kepada dunia. 

  1. Landasan/ Dalil-dalil tentang takhalli

Ada banyak dalil yang menyinggung tentang persoalan ini yang terdapat dalam al-qur’an maupun hadis. Namu, penulis hanya dapat memaparkan sedikit dari apa yang terkandung baik dalam al-Qur’an maupun hadis.

  1. Qur’an surat As-Syams ayat 9-10 

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sesungguhnyaberuntunglah orang yang mensucikanjiwaitu, Dan sesungguhnyamerugilah orang yang mengotorinya.” (qs. As-Syams: 9-10).

Dalam ayat tersebut secara tegas Allah berjanji kepada hambanya yang memiliki jiwa yang secara sempurna menunaikan tugasnya—menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala laranganya—akan mendapatkan suatu keberuntungan yang diraih seorang hamba di sisi Allah swt. Keberuntungan disini bukan hanya semata didapat dari dunia saja, dimana manusia yang telah berusaha menyucikan dan telah sampai pada kesucianya, akan mendapatkan ketenangan hidup dalam dirinya. Hidup yang tidak ada kebingungan, kegelisahan, keraguan, optimis, dan tidak ada rasa takut dikarenakan didalam hatinya Allah selalu membersamainya. Adapun keberuntungan yang didapat seorang hamba ynag bersih dari segala sifat buruknya kelak di akherat akan digolomgkan sebagai hamba yang memiliki jiwa/ hati yang selamat yang pantas mendapatkan surganya Allah swt. 

Sebaliknya, Allah menerangkandalam ayat selanjutnya bahwa kerugian akan menghampiri seorang hamba jika lalai dan mengotori jiwanya dengan segala kemaksiatan, kecintaan yang berlebihan terhadap duniawi dan segala akhlak tercela. Seorang yang demikian, hidup dan matinya tidak akan mendapatkan suatu kenikmatan yang diberikan Allah swt. Didunia ia terbuai dengan kenikmatan duniawinya dan menuruti hawa nafsunya yang membuat kehilangan jati dirinya sebagai hamba yang suci. Begitupun di akhirat ia tidak memperoleh kenikmatan yang diprolehnya ketika ia di akhirat. 

Selaras dengan pernyataan diatas Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di dalam tafsir as-Sa’adi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan { قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا }” maka menanglah orang yang menyucikan jiwa, yaitu dengan ketaatan kepada Allah. Begitupun yang terdapat dalam Li YaddabbaruAyatih / MarkazTadabbur di bawah  pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdillah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah dan dirasah Islamiyah Universitas Qashim mengatakan bahwa  وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا(dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya) Yakni  merugilah orang yang menyesatkan dan  memalingkan jiwanya dari Allah dan tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah dan  amalan shalih.

  1. Qur’an surat Asy-Syu’araa ayat 87-89

وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ ، يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ ، إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“Dan janganlahEngkauhinakanakupadaharimerekadibangkitkan,(yaitu) padahari (ketika) hartadananak-anaktidakberguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah denganhati yang selamat.” (QS. Asy-Syu`araa’: 87-89)

Hati yang selamat adalah hati yang bersih atau hati yang selamat dari perbuatan syirik kepada selain Allah dalam bentuk apapun, bahkan ibadah hanya boleh untuk Allah semata yaitu irodah (keinginan), cinta, tawakal, inabah, (kembali), tunduk, takut, dan rasa harap hanya ditujukan kepada Allah semata. Hati yang selamat juga dapat diartikan sebagai selamat dari segala macam bentuk syahwat uang menyalahi perintah Allah atau menerjang larangaNya, hati itupun selamat dari berbagai syubhat yang menyimpang di mana hati yang selamat akan berpaling dari peribadahan kepada selain Allah, selamat dari berhakim selain ajaranrosul-Nya.

Setiap anggota badan  akan  ditanya pada hari Kiamat. Hatinya akan ditanya tentang apa yang terlintas, apa yang difikirkan, danapa yang diyakininya. Pendengaran akan ditanya  tentang segala hal yang didengarnya,dan seterusnya.

  1. Surat Al-A’laa ayat 14-15

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan  beriman), dan mengingat namaRabb-nya, lalu ia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalihasy-SyawiAyat 14-15 “sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),” yakni menang dan beruntunglah orang yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezholiman, dan akhlak-akhlak tercela. “dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia shalat,” yakni orang yang memiliki sifat selalu ingat kepada Allah Swt dan hatinya terpatri dengan dzikir sehingga hal itu mengharuskannya mengerjakan sesuatu yang diridhoi Allah Swt khususnya  shalat yang merupakan neraca keimanan. Inilah makna ayat di atas. Sedangkan yang menafsirkan Firman Allah Swt, “orang yang membersihkan diri,” dengan arti mengeluarkan zakat fitrah dan “dia ingat nama Rabbnya, lalu dia shalat,” sholat ‘Id, meski penafsiran tersebut termasuk dalam kata-kata shalat dan sebagian dari cabangnya, tapi maknanya bukan hanya sesempit itu saja.

  1. Sempurna akhlak tanda kuatnya iman

Sebagaimana kita tahu bahwa diutusnya nabi Muhammad saw ke muka bumi membawa misi yang sangat mulia yaitu untuk menyempurnakan akhlak. 

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”

Sesungguhnya antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat hubungan yang sangat kuat sekali. Karenaakhlak yang baik sebagai  bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas  lemahnya iman, semakin  sempurna  akhlak  seorang Muslim berarti semakin  kuat imannya.

  1. Baik buruknya manusia tergantung hati

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِم

Ketahuilah sesungguhnya didalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.'” (HR. Al-Bukharidan Muslim)

Sebagian ulama mengumpamakan hati bagaikan seorang raja. Jika rajanya baik maka baiklah rakyatnya, dan jika rajanya rusak maka rusaklah seluruh rakyat.Hanya saja, menurut kalangan ulama peneliti, perumpamaan ini tidak tepat, karena bisa saja seorang raja mengeluarkan suatu perintah namun tidak ditaati. Berbeda denganhati, kala hati telah memrintahkan sesuatu, tubuh pasti menurut. Karena itu, perumpamaan hati bagi tubuh secara keseluruhan, jauh lebih fasih daripada perumpamaan seorang raja kala memerintahkan rakyat. Saat hati baik, seluruh tubuh pasti juga baik. Dan jika hati rusak, rusak pula seluruh tubuh.

  1. Tanda-tanda awal kesuksesan pelatihan spiritual (Riyadhah)

Tazkiyah al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya  untuk menjadikan hati menjadi  bersih dan  suci, baik dzatnya, maupun  keyakinannya” prinsip  mujahadah  pada  dasarnya  adalah  mencegah jiwa dari  kebiasaan-kebiasaannya  dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjang  waktu. Selain harus  melakukan mujahadah, untuk dapat  mendekatkan  diri  kepada  Allah  yaitu harus melakukan riyadhah. Yang dimaksud riyadhah menurut Ash-Shidiqiialah latihan kerohanian dalam melaksanakan hal-hal yang terpuji, baik dengan cara perkataan, perbuatan  maupun dengan  cara  penyikapan terhadap hal-hal  yang benar, yang dilakukan  dengan  tiga  macam cara menurut tingkatan kedekatan hamba dengan Tuhannya Tiga macam cara tersebut, yaitu: Pertama, riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya untuk berbuat baik dengan cara berusaha memahami perbuatan yang dilakukannya, berbuat dengan sikap yang ikhlash, tidak tercampur dengan sikap riya, dan memperbanyak melakukan kebenaran dalam pergaulan, baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan hidupnya. Kedua, riyadhah orang khowas (sufi, wali), yaitu upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika melaksanakan suatu perbuatan baik, sehingga tidak terpengaruh lagi oleh lingkungan sekelilingnya, penglihatan dan pendengarannya tidak terpengaruh lagi oleh sesuatu yang ada di sekelilingnya, kecuali hanya menuruti tuntunan kata hatinya. Ketiga, riyadhah orang khowasulkhowas (nabi, rasul), yaitu berbuat baik untuk mendapatkan kesaksian Allah dan ma’rifat atau kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan dengan Allah berbeda dengan istilah penyatuan menurut paham wujudiah. Kebersatuan berarti bersatu dengan Allah dalam keadaan wujud masih berbeda, yaitu Allah tetap Al-Khalik dan  manusia yang bersatu dengan Allah tetap makhluk. Termasuk juga  proses riyadhah yang dilakukan oleh peserta tasawuf (al-mutasawwif) ketika melakukan suluk (kegiatan dzikir dan tafakur) untuk memperoleh kedudukan spiritual (al-maqamat) dan kondisi spiritual (al-ahwal) hingga mencapai ma’rifah sebagai tujuan tasawuf.

  1. Faktor penghalang dalam melakukan tazkiyatu al-nafsi

Maksiat adalah sikap durhaka,atau menentang haq, hukum dan ketentuan Allah Swt  dengan kata lain, melakukan perbuatan dosa dengan melalaikan perintah Allah swt melakukan/melanggar larangan-Nya dan tidak ridha menghadapi musibah dan ujia-Nya. Menurut pembagianya maksiat dibagi menjadi dua yaitu; maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah perbuatan maksiat dan dosa atau melanggar hukum-hukum Allah yang dilakukan oleh anggota jasad atau tubuh kasar. Misalnya maksiat mata, perut, kemaluan, tangan, kaki, telinga,lisan, dan sebagainya. Adapun maksiat batin ialah perbuatan menentang hak dan hukum Allah swt yang dilakukan oleh batin atau hati nurani, sehingga dapat mempengaruhi fitrah batin daam mengemban amanah amanah-Nya. Hati pendosa dan tukang maksiat menjadi buta dan gelap serta tidak mampu memandang rahasia ketuhanan—rahasia yang menjadikan manusia pandai dan mahir memahami ilmu tentang seluk-beluk hakikat dan ma’rifat. Ada beberapa maksat batin yang berbahaya bagikecerdasan hati, jiwa atau ruh, antara lain:

  1. Bakhil (kikir) sifat bakhil atau kikir adalah keengganan atau tidak adanya keinginan memberi atau mengeluarkan sebagian hartanya untuk fakir miskin dan orang yang sangat membutuhkanya 

  2. . Cinta dunia, harta, dan pangkat

Termasuk diantara sifat yang dapat merusak akhlak mulia dan menodai cermin batin manusia adalah cinta pada dunia, harta, dan pangkat. Orang yang tergila-gila dan mengejar-ngejar ketiganya biasanya juga mempunyai penyakit bakhil atau kikir. Orang yang mencintai semua itu dengan memburunya akan cenderung dan berangan-angan dapat meraihnya. Jika demikian, ia sedang berda pada kondisi yang sangat membahayakan kemurnian fitrah jiwa, hati, dan ruhnya, bahkan akan mendapat ancaman azab dan bencan kemurkaan Allah swt baik saat berada didunia dan lebih-lebih di akhirat kelak. 

  1. .dendam (tidak lapang dada) 

Dendam ialah suatu keinginan atau sikap tidak lapang dada terhadap musuh atau orang yang menyakitkan hati. Yeitu, memberi maaf denganlapang hati kepada siapa saja yang berbuat sesuatu yang terasa menyakitkan jasad atau ruhani. 

  1. . Hasad (Dengki atau Iri Hati) 

Hasad, dengki, atau iri hati ialah perasaan benci terhadap orang lain yang diberi nikmat dan mengharapkan agar nikmat tersebut segera lenyap dari orang itu dengan harapan dapat berpindah kepadanya,

  1. . PONGAH (Sombong, Angkuh, dan Tinggi Hati)

Sifat dan sikap mengagungkan diri dengan membusungkan dada dan membangggakan diri termasuk juga penyakit yang membahayakan kesucian batin yang dapat menghalangi seorang hamba yang ingin berjumpa Allah itulah karakter setan dan iblis yang bersikap angkuh dihadapan Allah swt yang berani membantah perintah-perintah-Nya. Manusia yang mempunyai sikap dan sifat semacem ini tidak ubahnya setan dan iblis yang berwajah manusia.  

RIYADHOH

Riyadhoh dalam bahasa arab diartikan sebagai olah raga. Namun dalam Kajian Tasawuf diartikan sebagai olah jiwa.Riyadhoh merupakan proses yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Sebagaimana Firman Allah SWT :

وَاِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِى ءَادَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْابَلى شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هذَا غَافِلِيْنَ

Artinya : ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.S. Al-A'rof 7:172)

Berdasarkan ayat tersebut, semua ruh manusia tanpa terkecuali pernah Allah tanyakan kepada mereka yaitu ketika semua ruh di alam arwah Allah bertanya mengenai persaksian bahwa Allah adalah sang pencipta. Hal tersebut dilakukan supaya di persidangan nanti (yaumul hisab) tidak lupa atau lalai. Jadi semua ruh manusia yang Allah lahirkan ke muka bumi sudah bersaksi dihadapan Allah bahwa Allah lah sang pencipta. Ketika ruh manusia di masukan kedalam fisiknya lalu lahir ke muka bumi ada kemungkinan manusia itu tidak mengingat apa yang terjadi ketika di alam ruh, sebab kekuatan ruhaninya melemah, karena kalah dengan kebutuhan jasmaninya.

Untuk menghindari hal tersebut maka harus dilakukan proses Riyadhoh yaitu dengan cara dzikir atau mengingat kepada Allah.Rasulullah SAW. melakukan proses Riyadhoh kepada para sahabat dengan cara memberikan Talqin Dzikir atau memberikan pengajaran mengenai Dzikir kepada Allah. 

Dalam kitab al-anwar al-qudsiyyah disebutkan ada dua cara dalam melakukan proses Talqin Dzikir, pertama dilakukan secara berjamaah, kedua dilakukan secara individu yaitu para sahabat secara individu meminta kepada Rasul untuk melakukan proses Talqin Dzikir.

Suatu ketika, Rasul sedang berkumpul dengan para sahabat di sebuah rumah, lalu Rasul bertanya kepada para Sahabat "Apakah di situ ada orang asing (ahli kitab)", maka para sahabat menjawab "Tidak ada ya Rasul. Kemudian Rasul menyuruh untuk menutup pintu, dan kemudian Rasul membaca laa ilaa ha ilallah, yang di ikuti langsung oleh para Sahabat.

Macam-macam Bentuk Riyadoh

  1. Taubat 

Asal makna taubat ialah الرُّجُوْعُ مِنَ الذَّنْبِ).) Kembalinya dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan atau dalam pengertian lain :

تَابَ إِلَى اللهِ يَتُوْبُ تَوْباً وَتَوْبَةً وَمَتَاباً بِمَعْنَى أَنَابَ وَرَجَعَ عَنِ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَة

Orang yang bertaubat kepada Allah ilalah orang yang kembali dari pertaubatan kasiat menuju pertaubatan taat. Rasulallah Saw bersabda.

عَنِ اْلأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”[1]

  1. Dzikir

Janganlah engkau meninggalkan dzikir karena engkau tidak merasa hadir dihadapan Allah ketika engkau sedang berdzikir karena jika engkau tidak ingat kepada Allah dan engkau tidak berdzikir hal ini lebih bahaya dari pada dzikir yang tidak mengingat Allah. Dan semoga Allah menaikan dearajatmu dari dzikir yang lupa ke pada dzikir yang ingat. Dan dari dzikir yang ingat kepada dzikir yang hudzur ( merasa berada di hadapan Allah ) dan dari dzikir yang hudzur kepada dzikir yang tidak mengingat sesuatu kecuali Allah. Dan Allah maha kuasa untuk menjadikan semua itu.

Janganlah engkau maninggalkan zikir karana engkau belum merasakan hadir di hadapan Allah di dalam zikirmu. Sebab hatimu masih disibukan dengan urusan duniawi. Akan tetapi  teruslah bezikir kepada Allah dalam kodisi apapun, karena meskipun engkau lupa kepada Allah tetapi engkau tetap melakukan zikir, tentu hal itu akan lebih baiik bagimu.

Bezikir dengan hati yang lupa tentu lebih baik, karena engkau akan menggerakan lidah dengan menyebut nama nama Allah yang mulia. Dan semoga Allah mengangkat maqam-mu dari berzikir yang lupa, kepada berzikir yang hudzur, dan dari berzikir yang hudzur, kepada zikir yang hatinya dapat melihat Allah. Sampai akhirnya nanti ia bisa merasakan fana ( tidak sadar ) dari zikir itu sendiri, karena ia talah bersama dengan Allah.

Dan apabila tiba tiba muncul zikir lisan dari orang yang berada di maqam fana, maka sesungguhnya ia tidak muncul dari kesadaran diri dan kesengajaan, tetapi Allah lah yang menggerakan lidahnya. Dikatakan dalam hadis kudsi: “seorang hamba yang istiqomah dan terus menerus melakukan amalan sunnah, maka aku akan mencintainya. Dan apabila aku telah mencintainya maka aku akan mejadi telinganya ketika ia mendengar, menjadi matanya ketika ia melihat, dan menjadi lidahnya ketika ia berbicara ( sampai akhir hadis ). “Dan sesungguhnya tidak ada yang mengetahui hakikat maqam ini kecuali para shalihin ( yang menempuh perjalanan menuju Allah ).

Keutamaan Dzikir

Sabda Nabi SAW. “Tidaklah suatu kaum duduk menyenut nama Allah, melaikan para malaikat mengelilingi mereka dan mereka diliputi rahmat, kerenangan turun diatas mereka dan Allah menyebut mereka di anatarra para malaikat di sisi-Nya.”

Berikut ini adlah keutamaan fzikir yuang dikatakan oleh Ibnu Al Qayyim al-Jauziyah dalan kittabnya Al-Wabilush Shayyib  sebagai berikut.

  1. Mendatangkan cinta kepada Allah

  2. Menghilangkan gelisah

  3. Menguatkan hati dan badan]

  4. Mendatangkan rezki

  5. Menerangi hati dan wajah menjadi bersinar

  1. Shalat

Shalat secara bahasa berarti Do’a sedangkan menurut istilah adalah perbuatan yang di awali takbirotul ihrom dan di akhiri menggunakan salam dengan syarat-syarat yang sudah di tentukan. Shalat berfugsi untuk mensucikan hati dari kotoran dan dosa, dan sebagai pembuka pintu ghaib.Sesungguhnya shalat yang dilakukan secara sempurna dengan memenuhi syarat dan adab adabnya, yang mencangkup khusyuklnya kepada zat maha perkasa. Dapat membersihkan hati dari dosa dosa. Firman Allah:

Artinya : “Sesungguhnya shalat dapat mencegah ddari perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)

Di dalam hadis diakatakan: “Perumpamaan shalat adalah sungai yang mengalir di depan rumahmu dan engkau mandi disana lima kali sehali semalam. Apakah masih ada kotoran yang menempel di tubuhmu?”  Sesungguhnya hati jika sudah bersih, hijab hijab akan terangkat dan ia akan dapat melihat ilmu makrifat dan rahasia rahasia yang sebelumnya tersemmbunyi.

Shalat Malam

Keutamaan Shalat malam memeliki keutamaan yang sangat besar  sehingga menjadi sangat penting bagi orang orang yang menginginkan kesempurnaan iman. Karena sedemikian pentingnya, maka Rasulullah SAW bersabda, “Shalat yang paling utama setelahh shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Shalat malam merupakan sebab utama bagi seseorang untuk masuk surga, sebagaimana Abdullah bin Salamm pernah bercerita. “ketika Rasulullah tiba di Madinah, orang orang menyambutnya dengan perkataan, Rasulullah tiba!3x, akupun datang karana ingin melihat wajah beliau secara jelas, akupun tau bahawa wajah beliau bukanlah wajah pendusta. Dan sabda yang pertama kali ku dengar adalah.

“Wahai sekalian manusia, sebarkan salam, berilah makan, sambungkanlah kekerabatan, dana shalatlah di saat manusia terlelap tidur pada saat malam niscaya kamu masuk surga dengan selamat.” (HR. Turmidzi)

Oleh karena itu, Nabi SAW, sangat mendorong kita untuk melakukan shalay malam. Bahkan beliau menegaskan bahwa beribadah di malam hari mempunyai banyak keutamaan di dalamnya. Sebagaimana beliau bersabda.

“Hendaklah kalian melaksanakan Qiyamul Lail, sesungguhnya ia kebiasaan kaum shalihin, pendekatan diri kepada Tuhan, pelebur kesalahan, pencegah dosa dan pengusir penyakit dari jasad.” (HR. Thabrani)

Dari hadis tersubut dapat kita babarapa hikmah yang terkandung dalam qiyamul lail. Pertama, ciri khas kaum muslimim terletak pada keistiqomahan dalam melaksanakan ibadah pada malam harinya. Syekh ismail bin ibrahim Al jabrili berkata, “semua kebaikan ada pada waktu harinya dan tidaklah seseorang diangkat sebagai wali (kekasih Allah) kecuali pada waktu malam. Kedua, malam hari menjadi waktu yang tepat untuk meningkatkan hubungan kepada Allah. Di kala banyak manusia telelap dalam tidurnya, shalat di malam hari menjadi alternatif keluar dari kebisingan dunia guna melangkah lebih dekat kepada Allah.

Shalat malam merupakan bentuk ketaatan kita yang dapat membukukan hati kita, membebaskan diri kita daru rutinitas sehari hari. Mendekatkkan diri kepada Allah SWT, menerima cahaya-Nya dan merasa akrab dalam kesendirian bersama-Nya.

  1. Puasa 

Puasa atau saum adalah tindakan sukarela dengan berpantang dari makanan, minuman, atau keduanya, perbuatan buruk dan dari segala hal yang membatalkan puasa untuk periode waktu tertentu. Puasa mutlak biasanya didefinisikan sebagai berpantang dari semua makanan dan minuman untuk periode tertentu, biasanya selama satu hari (24 jam), atau beberapa hari. Puasa lain mungkin hanya membatasi sebagian, membatasi makanan tertentu atau zat. Praktik puasa dapat menghalangi aktivitas seksual dan lainnya serta makanan. Puasa, sering dilakukan dalam rangka menunaikan ibadah, juga dilakukan di luar kewajiban ibadah untuk meningkatkan kualitas hidup spiritual seseorang yang melakukannya. 

Keutamaan puasa 

  1. Allah sendiri yang menentukan pahala puasa sesuai dengan kualitas puasa seseorang

  2. Orang yang berpuasa dijanjikan memperoleh dia kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika berbuka puasa serta kebahagiaan berjumpa dengan Allah (nanti di surga)

  3. Orang yang berpuasa segaru dijauhi oleh Allah neraka jahannam sejauh seratus tahun perjalan.

  4. Surga merindukan orang yang berpuasa untuk masuk ke dalamnyamelaluipintuAr-rayyan

ManfaatPuasa

  1. Meraih predikatt taqwa kepada Allah. Karena Allah telah menutup ayat shaum denag kata,”supaya kalianberakal, atau suopaya ingat.” Dengan demikian, puasa adalah jalan mennuju katqwaan, karena ia memalinhkan hati kita dari kemaksiatan, dan menjaga hawanafsu kita dari kesalahan dan pelanggaran.

  2. Optimalisasi waktu untuk beribadahas

Sesungguhnya amalan amalan yang wajib telah banyak menyita waktu kita dalam beribadah, waktu seperti ini sangat mungkin diinvestasikan dalam upaya untuk mencari ridha Allah SWT.

Membaca kitab-Nya, dan beristigfar.

  1. Dalam berpuasa ada kehidupan bagi hati

Sesungguhynya hati terkadang bisa mati karena  lantaran banyak mengonsumsi hal hal  ubah, seperti makan minum dll. Sbegian orang mengira bahwa kehidupan baghhhi hati adalah dengan banyak makan dan minum, tentu saja ini tidak benar. Karena hati atau ruh itu adalaj tiupan

(nafkah) dari Allah


  1. Akan mengingatkan kita pada kehidupan fakir dan miskin


MURAQABAH

Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.

Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya. Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” 

Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” 

Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.

Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada.

Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri.

Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa.

Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama.

Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.”

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)

Naskah Hadits 

Dari Ibn ‘Abbas RA., dia berkata, “Suatu hari aku berada di belakang Nabi SAW., lalu beliau bersabda, ‘Wahai Ghulam, sesungguhnya ku ingin mengajarkanmu beberapa kalimat (nasehat-nasehat), ‘Jagalah Allah, pasti Allah menjagamu, jagalah Allah, pasti kamu mendapatinya di hadapanmu, bila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila kamu minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa jikalau ada seluruh umat berkumpul untuk memberikan suatu manfa’at bagimu, maka mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu, dan jikalau mereka berkumpul untuk merugikanmu (membahayakanmu) dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa melakukan itu kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu. Pena-pena (pencatat) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. at-Turmudzy, dia berkata, ‘Hadits Hasan Shahih’. Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad)

Ayat-ayat al-Qur’an yang sering dibaca dalam rangka muraqabah ini antara lain adalah :

QS.Al-Baqarah : 109

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْأَهْلِ الْكِتَابِلَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِإِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًامِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 

QS.An-Nisa : 125

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”

QS.Qaf : 15

أَفَعَيِينَا بِالْخَلْقِ الْأَوَّلِ ۚ بَلْ هُمْ فِي لَبْسٍ مِنْ خَلْقٍ جَدِيدٍ

Arti: “Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.”

QS. Ali-Imran: 30

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ

Artinya : “(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya.” 

QS. Al-Anbiyaa’: 47

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

Artinya : “Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (apahal). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.”

(kami akan memasang timbangan yang tepat) timbangan yang adil, (pada hari kiamat) pada hari itu, (maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun) dengan dikurangi pahala kebaikannya atau ditambahkan dosa keburukannya, (dan jika) amalan itu, (hanya seberat) sama beratnya dengan, (biji sawi Kami mendatangkannya) yakni pahalanya. (dan cukuplah Kami menjadi penghisab) segala sesuatu yakni yang menghitungnya.


MUQARRABAH

Muqarrabah berarti saling berdekatan. Dalam pengertian ini, maksudnya adalah usaha-usaha seorang hamba untuk selalu berdekatan dengan Allah swt, yakni saling berdekatan antara hamba dan Tuhannya. Upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah ini harus diiringi dengan nilai-nilai keihkhlasan dan kesungguhan untuk mencapai ridha Nya.

Taqarrub, menurut bahasa ialah berarti pendekatan diri, sedangkan yang dimaksud disini adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah. Usaha ini dilakukan dengan cara-cara yang layak bagi Allag dengan menunaikan bahkan melipatgandakan amal ibadah sebaik-baiknya dengan mengharapkan pertemuan dengan Nya. Diungkapkan dalam surat :

QS. Al-kahfi : 110 

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

QS. Al-Ankabut : 5

مَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Artinya: “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.


MAHABBAH

Secara bahasa, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata hub yang mempunyai banyak arti, diantaranya bias diartikan sebagai : membiasakan dan tetap atau menyukai sesuatu. Dalam bahasa Indonesia kata cinta berarti suka, sayang, kasih, keinginan, harapan dan rindu. Berdasarkan pengertian di atas, dapat difahami bahwa : mahabbah (cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan. Dan mahabbah yang ingin dibahas dalam makalah ini adalah perasaan cinta yang mendalam secara ruhaniyah kepada Allah.

Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan definisi dikalangan ulama.

  1. Pendapat para kaum teolog menyatakan bahwa mahabbah berarti 

  1. Keridhaan tuhan yang diberikan kepada manusia 

  2. Keinginan manusia menyatu dengan tuhan, dan

  3. Perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. 

  1. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-ghazali adalah kecenderungan kepada tuhan karena bagi kaum sufi, mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada tuhan.

  2. Sementara itu, Harun Nasution (w.1998 M) mengemukakan bahwa mahabbah mempunyai beberapa pengertian

  1. Memeluk kepatuhan pada tuhan dan membenci sifat melawan pada-Nya 

  2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi. 

  3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. 

Yang dimaksud dengan kekasih seperti yang tersebut diatas adalah Allah.

Figur Sufiyah Dalam Sejarah Islam 


Figur sufiyah tentang mahabbah ini adalah Rabi’ah Al-Adawiyah. Di dalam sejarah islam klasik, ada dua tokoh terkenal yang bernama Rabi’ah; dan kesamaan nama ini kadang mengaburkan penisbahan riwayat-riwayat kepada masing-masing tokoh. Rabi’ah yang dimaksud dalam figur sufiyah adalah rabi’ah muda yang secara lengkap bernama Ummu Al-Khair Rabi’ah Binti Isma’il Al-Adawiyyah Al-Qishiyyah.Dia hidup pada abad II H/VIII M. Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh namun sangat miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di bashrah. Menurut riwayat, prosesi kelahirannya di malam hari berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidak-mampuan sang ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia merasa “malu” untuk mengadu kepada sesame manusia. Untungnya, disebutkan bahwa orangtua rabi’ah mendapatkan hadiah secara mendadak dari gubernur bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup mereka kala itu.Beliau berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifah ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju ke jalan Allah, seperti Sofyan Ats-Sauri, Rabah Bin Amr Al-Qaysi, dan Malik Bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabi’ah masih hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.

Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati.Memeluk erat kemiskinan demi cintanya kepada Allah.Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan.Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya.Ia mengajarkan bahwa: 

Yang pertama :cinta itu harus menutup yang lain, yang kedua    : mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali.

Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tak mengharap balasan. Justru, yang ia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas bagi cintanya yang luas, yang sering tak terkendali tersebut.Lewat sebuah do’a yang mirip sya’ir. Ia berujar :“Wahai Tuhanku, jika aku menyambah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena syurga, jangan masukkan aku ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dari-ku keindahan abadi-Mu:”.

Dalil-Dalil Mengenai Mahabbah Ilallah

  1. Al-Baqarah : 165 


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ .وَالَّذِيْنَ اَمَنُوا اَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ. وَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ. إِنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ  جَمِيْعًا.وَّاَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ ( البقرة :  165)

Artinya :

Dan di antara manusia ada yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah.Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal.). (Q.S Al-Baqarah : 165)

Mengapa ayat ini termasuk dalil mahabbah ilallah?Karena, dalam ayat ini menerangkan beberapa perbedaan orang-orang musyrik dan orang-orang yang sangat mencintai Allah.Dalam ayat tersebut ada penjelasan seperti ini.

Allah menyebutkan keadaan orang-orang musyrik di dunia dan siksaan yang akan mereka terima diakhirat kelak atas perbuatan mereka menjadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya yang mereka jadikan sebagai sesembahan selain Allah ta’ala dan mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Padahal Dia adalah Allah, tiadalah yang hak selain Dia, yang tiada tandingan dan sekutu bagi-Nya. Dalam kitab shahih al-bukhari dan muslim disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan, aku pernah bertanya, “Ya Rasulallah, dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab: “Engkau membuat tandingan (sekutu) bagi Allah, padahal dia telah menciptakanmu.”(H.R Al-Bukhari dan Muslim).

Firman Allah : walladziina aamanu asyaddu hubbal lillahi (adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah) karena kecintaan mereka kepada Allah dan kesempurnaan pengetahuan mengenai diri-Nya serta pengesaan mereka kepada-Nya, mereka tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sebaliknya mereka hanya beribadah kepada-Nya semata, bertawakal kepada-Nya, dan kembali kepada-Nya dalam segala urusan mereka. Setelah itu Allah mengancam orang-orang yang berbuat syirik dan mendzhalimi diri mereka sendiri dengan berfirman: walau yarolladziina dzhalamuu idz yarounal ‘azaaba annal quwwata lillahii jamii’an (dan seandainya orang-orang yang berbuat dzhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa seluruh kekuatan itu hanya kepunyaa Allah semuanya) sebagian ulama mengatakan, maksud firmannya ini, bahwa hukum itu hanya milik-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan segala sesuatu berada di bawah kekuasaan-Nya.

Wa annallaha syadiidul ‘iqaab (dan sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya) yakni, seandainya mereka mengetahui apa yang akan mereka lihat disana secara nyata dan apa yang akan ditimpakkan kepada mereka berupa adzab yang menakutkan dan mengerikan akibat kemusyrikan dan kekufuran mereka, niscaya mereka akan segera mengakhiri dan menghentikan kesesatan yang mereka kerjakan.

  1. Ali Imran : 30


يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مّاعَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَرًا وَمَاعَمِلَتْ مِنْ سُوْءٍ تَوَدُّ لَوْ اَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ اَمَدًا بَعِيْدًا. وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ. وَاللهُ رَءُوْفٌ بِالْعِبَادِ ( ال عمران : 30) 

Artinya :

(Ingatlah) pada hari  (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap seandainya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya. Allah Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.( Q.S Ali Imran : 30) 

Mengapa ayat ini menjadi dalil mahabbah ilallah?Karena, ayat ini menjelaskan tentang perbedaan balasan hamba-hamba yang mencintai Allah dan yang tidak. Penjelasannya berbunyi sebagai berikut :

Ayat diatas menjelaskan bahwa pada hari kiamat kelak akan dihadirkan dihadapan seorang hamba semua amal perbuatannya, yang baik maupun yang buruk, sebagaiman firman-Nya yang berarti (pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya) (QS.Al-Qiyaamah:13)

Orang yang mendapatkan amal perbuatannya baik, maka amal itu akan membahagiakan dan menyenangkannya. Dan yang menemukan kejelekan dalam amal perbuatannya, maka hal itu akan menjadikannya bersedih dan berkeinginan terlepas dari amal jeleknya itu, serta berharap ada jarak yang jauh antara dirinya dengan amal jeleknya itu, sebagaimana dia mengatakan kepada syaitan pendampingnya semasa di dunia dan syaitan itu pula yang menjadikannya berani berbuat jahat: yaa laita bainii wa bainaka bu’dal masyriqaini fabi’sal qariin (aduhai, semoga (jarak) antara aku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat, maka syaitan itu adalah sejahat-jahatnya teman (yang menyertai manusia)), (QS. Az-Zukhruf :38)

Setelah itu Allah mengukuhkan hal tersebut dan mengancam, Allah berfirman, wa yuhadzzirukumullahu nafsahu (dan Allah memperingatkanmu terhadap diri (siksa)-Nya) yaitu dia menakut-nakuti kalian dengan siksa-Nya. Selanjutnya Allah berfirman, memberikan harapan kepada hamba-hamba-Nya agar tidak berputus asa dari rahmat dan kelembutan-Nya, dengan firman-Nya, waallahu rauuufum bil ‘ibaad (dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya) Al-Hasan Al-Bashri berkata: “diantara wujud kasih sayang Allah kepada mereka adalah pemberian peringatan kepada mereka agar takut pada diri-Nya”. Ulama lain berkata: “ maksudnya bahwa Dia sangat penyayang terhadap seluruh makhluk-Nya. Dia menginginkan agar mereka senantiasa beristiqamah di atas jalan-Nya yang lurus dan (dalam) agama-Nya yang benar serta mengikuti Rasul-Nya yang mulia.

  1. Al-Maidah : 54

يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ اَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِ اللهِ وِلآيَخَافُوْنَ لَوْمَةَلآئِمٍ. ذَالِكَ فَضْلُ اللهِ مَنْ يَشَاءُ. وَاللهُ وَاسَعٌ عَلِيْمٌ ( المائدة : 54)

Artinya :

Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.Dan Allah Maha Luas (pemberiannya), Maha Mengetahui.( Q.S Al-Maidah : 54)

Mengapa ayat ini termasuk kepada dalil mahabbah ilallah?Karena, Allah menjelaskan dalam ayat tersebut tentang seberapa pantasnya Dia dicintai oleh hamba-hamba-Nya. Penjelasannya berbunyi sebagai berikut:

Allah menggambarkan kekuasaan-Nya yang Maha Agung, bahwasannya barangsiapa yang berpaling dari membela agama-Nya dan menegakkan syari’at-Nya, maka Allah akan menggantinya dengan orang yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih lurus jalannya. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “dan jika kamu berpaling, niscaya Allah akan mengganti (mu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad:38). Sedangkan pada surat ini, Allah Ta’ala berfirman : yaa ayyuhalladziina aamanuu manyyartadda minkum ‘an diinihii (hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya) yaitu berpaling dari kebenaran menuju kepada kebatilan. Muhammad bin Ka’ab mengatakan : “ayat ini turun berkenaan dengan para pemimpin dari kalangan kaum quraisy.”

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “ ayat ini berkenaan dengan orang-orang murtad yang ada pada masa abu bakar.” 

Fasaufa ya’tillahu biqaumiy yuhibbuhum wa yuhibbunahu (maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya)

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan : “Demi Allah, mereka adalah Abu Bakar dan para sahabatnya.” (Diriwayatkan ibnu abi hatim) 

Firman-Nya : adzillati ‘alal mu’miniina a-‘izzatin ‘alal kaafiriina (yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir) yang demikian itu merupakan sifat-sifat orang-orang mukmin yang sempurna, yaitu bersikap merendahkan diri dan penuh kasih sayang kepada saudara-saudaranya dan kepada pemimpin  mereka, tetapi bersikap tegas dan keras terhadap musuh-musuh mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath:29)

Firman Allah : yujaahiduuna fii sabilillahi wa laa yakhoofuuna law matalaa-im (yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela) maksudnya, mereka tidak pernah mundur dari berbuat taat kepada Allah dan menegakkan hukum-hukum-Nya, juga memerangi musuh-musuh-Nya, serta menjalankan amar ma’ruf nahii munkar. Dan dalam melakukan hal itu tidak ada yang dapat menolak mereka dan menghalangi mereka, dan tidak ada celaan seorang pencela pun yang menggoyahkan pendirian mereka. Dzaalika fadhlullahi yu’tiihi man yasyaa’u ( itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya) artinya, barang siapa yang menghiasi diri dengan sifat-sifat tersebut, maka yang demikian itu tidak lain hanyalah karunia dan taufik Allah yang Allah berikan kepadanya. Wallahu waasi’un ‘aliim (Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui) maksudnya, maha luas karunia-Nya lagi maha mengetahui siapa yang berhak mendapatkannya dan siapa pula yang tidak berhak menerimanya.

Salah satu praktek pembuktian cinta terhadap Allah bisa dilakukan dengan takwa, yakni mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, salah satu contoh mematuhi peritah-Nya yakni Berkurban di hari idul adha, bahkan dalam al-quran Allah berfirman, yang berbunyi : 

  1. Al-Hajj : 36-37

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَهَا لَكُمْ مِنْ شَعَآئِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ. فَاذْكُرُوااسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَفَّ. فَإِذَ وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُواالْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ وَكَذَلِكَ سَخَّرْنَهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (36) لَنْ يَنَا اللهَ لُحُوْمُهَاوَلآدِمَآؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ. كَذَالِكَ سَخَّرَهَالَكُمْ لِتُكَبِّرُوااللهَ عَلَى مَاهَدَىكُمْ . وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ ( الحجّ : 36-37) 

Artinya :

Dan unta-unta itu kami jadikan untukmu bagian dari syi’ar agama Allah.kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.

Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepda Allah. Tetapi yangsampai kepa-Nya adalah ketaqwaan kamu.Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah ataspetunjuk yang Dia beikan kepadamu.Dan sampaikanlah kabar gembira kepad orang-orang yang berbuat baik. (Q>S Al-Hajj : 36-37) 

Dari ayat-ayat yang disebutkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa :

  1. Bahwasannya mengagungkan perintah Allah untuk membimbing umat-umat muslim mendekatkan diri kepada Allah adalah merupakan bentuk menyiarkan agama islam. 

  2. Berkurban tidak boleh dilakukan kecuali dengan menggunakan binatang-binatang ternak (seperti unta, sapi dan kambing) 

  3. Yang paling afdhol adalah mengorbankan unta, menyambelih sapi dan kambing 

  4. Lebih baiknya hewan-hewan kurban itu di sedekahkan kepada orang-orang fakir untuk mencapai tingkatan takwa 

  5. Ibadah amaliah atau hikmah yang bias didapat dari berkurban adalah kebaikan dan kasih sayang Allah kepada Nabi Isma’il AS dan Ayahnya.



ITTIHAD

  1. Pengertian Ittihad

Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”, maknanya seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan bersatu dengan Allah (baqa). Dalam paham ini, seseorang harus melalui beberapa tingkatan untuk mencapai Ittihad, yaitu fana dan baqa.Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik dan manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa).


  1. Ittihad dalam tasawuf

Al-ittihad yang diamalkan oleh Abu Yazid al-Bustami adalah suatu maqam yang tertinggi untuk lebih dekat kepada Allah, tapi sebelum sampai ke al-ittihad seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana dan baqa

Berbicara fana dan baqasangat erat kaitannya dengan al-Itihad, yakni penyatuan batin atau rohani dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Mustafa Zuhri menyebutkan bahwa fana‟ dan baqa‟ tidak dapat dipisahkan dengan al-ittihad.Jadi untuk sampai kepada ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana‟ „an al-nafs, dalam arti kehancuran jiwa. Maksudnya adalah bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkankesadaran sufi terhadap dirinya inilah yang disebut kaum sufi al-fana‟ „an al-nafs wa al-baqa‟ bi „ilah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan.Maka disinilah seorang sufi terjadi persatuan dengan Tuhannya (ittihad), sehingga seorang sufi mengeluarkan kaa-kata dari mulutnya yang tidak disadari yaitu: “Aku adalah Tuhan”.

Namun demikian, ungkaan-ungkapan yang keluar dari mulut sufi itu, menimbulkan berbagai tanggapan antara pro dan kontra dikalangan umat Islam, bukan hanya pada dataran orang awam bahkan pada tingkat intelektual, misalnya Ibn Salim menganggap sebagai “kafir”. Bagi orang yang bersikap toleran terhadap ajaran ittihad ini memandang hanya sebagai penyelewengan (inhiraf).





  1. Tokoh Ittihad dalam tasawuf

Al-Bustami nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin „Isa bin Surusyanal-Bustami. Ia dilahirkan di Bistam, salah satu kota di daerah Qumis Persia tahun 188 H./804 M. Ayahnya (Isa) adalah salah seorang tokoh di Bistam, sedangkan ibunya adalah seorang yang taat dan bersifat zuhud. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Pada masa mudanya ia mempelajari al-Qur‟an bahkan mendalaminya dan belajar hadis Nabi serta ilmu fikih mazhab Hanafy. Jadi disamping seorang sufi, ia tetap menjungjung tinggi hukum syariat serta sangat cinta terhadap ilmu kalam. Tidak didapat informasi bahwa ia menulis buku sebagaimana dengan tokoh-tokoh lainnya. Ajaran-ajaran beliau dari pandangan-pandangannya hanya bias ditemukan melalui catatan-catatan dari muridnya atau tokoh-tokoh yang pernah bertemu dengannya.

Jadi, al-Bustami dikenal sebagai salah seorang imam terkenal dalam ilmu tasawuf, sehingga ia dikagumi oleh tokoh-tokoh lainnya, dikatakan oleh al-Junaid: “Syeikh paling tinggi maqamnya dan kemuliaannya serta kedudukannya diantara sufi yang lainnya seperti kedudukan Jibril diantara para Malaikat yang lainnya. 

Pengalaman-pengalaman al-Bustami dalam bidang kesufian dan ucapan-ucapannya terkadang sulit dipahami oleh orang awam, sehingga sebagian ulama ada yang menentangnya dan membenci beliau bahkan menganggap menyimpang dari ajaran agama Islam yang sebenarnya, seperti ungkapan beliau: Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”, menyebabkan beliau sering mengasingkan diri. Dalam pengasingan diri itulah beliau wafat pada tahun 261 H./875 M. di Bistam.


HULLUL

  1. Pengertian Al-Hulul

Secara harfiah hulul berarti tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat- sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al- Tusi dalam al- Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan mengambil otempat di dalam setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks arab pernyataan itu berbunyi:

اِنَّ اللهَ اَصْطَفَى اَجْسَامًا حَلَّ فِيْهَا بِمَعَانِى الرُّبُوْبِيَّةِ وَاَزَالَ عَنْهَا مَعَانِى الْبَشَرِيَّةِ

 “Sesungguhnya Allah memilih jasad- jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat- sifat kemanusiaan”.

Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak pada pemikiran al- Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al- thawasin. Al- Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri tuhan maka terjadi hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat- sifat kemanusiaannya melalui proses al- Fana. 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka al- Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al- ittihad. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa al- Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insane (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :

  1. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.

  2. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.

  1. Tokoh yang mengembangkan paham al- hulul

Sebagaiman telah disebutkan diatas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al- Hulul adalah al- Hallaj. Nama yang lengkap adalah Husein bin Mansur al- Hallaj. Ia lahir tahun 244 H. (858 M.) di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al- Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang Sufi bernama Amr al- Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al- Junaid yang juga seorang Sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam. 

Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulamak fiqih. Pandangan- pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulamak fiqh bernama Ibn Daud al- Isfahani mengeluarkan fatwah untuk membentah dan memberantas pahamnya. Al- Isfahani dikenal sebagai ulama fiqih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir nas ayat belaka. Fatwah yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap al- Hallaj, sehingga al- Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan sifir penjara.

Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah bersembunyi empat tahun lama di kota itu, dan tetap tidak mengubah pendiriannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama delapan tahun lamanya. Lamanya di penjara ini tidak menyebabkan ia luntur pendiriannya. Akhirnya pada tahun 309 H. (921 M.) diadakan persidangan ulama’ dibawah kawasan Kerajaan Bani Abbas, Khalifah Mu’tashim Billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaidah tahun 309 H. (921 M.) al- Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung bagian- bagian tubuh itu di pintu depan kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama’ lainnya yang berbeda pendirian. Arberry lebih lanjut melukiskan pembunuhan al- Hallaj ini sebagai berikut.

“Tatkala dibawa untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku- pakunya, ia menoleh kearah orang- orang seraya berdoa, yang diakhiri dengan kata- kata: “Dan hamba- hamba-Mu yang bersama- sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Kerena sesungguhnya, sekiranya telah Ku-anugerahkan kepada mereka yang telah Kau-anugerahkan kepadaku, tentu mereka takkan melakukan yang mereka lakukan. Dan bila kusembunyikan dari diriku yang telah Kau-sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maka Agung Engkau dalam segala yang Kau-lakukan, dan Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau-kehendaki.”

Maslah al- Hallaj dihukum bunuh sudah disepakati bersama, namun bagaimana proses pembunuhannya dengan disalib sebagaimana digambarkan Arberry tersebut di atas, masih perlu dipersoalkan, karena kalau memang demikian betapa kejamnya para penyiksa itu, dan mengapa ia dengan tega melakukan demikian, sebagaimana kaum Bani Israil menyiksa Yesus Kristus (Yudas Iskareot). Yang dapat diterima tampaknya versi pembunuhan yang digambarkan oleh Hamka tersebut diatas.

Mengenai sebab- sebab dibunuhnya al- Hallaj sehingga sampai sekarang masih controversial. Jika kebanyakan mengemukakan sebab- sebab dibunuhnya al- Hallaj karena perbedaan paham dangan paham yang dianut ulama’ fiqih yang dilindungi oleh pemerintah, maka hal ini masih juga dipertanyakan. Orang menanyakan jika al- Hallaj dibunuh karena perbedaan paham dengan paham yang dianut oleh ulama’ fiqih, mengapa Sufi yang lainnya sebagaiman Zun al-Nun al-Mishri, Ibn Arabi dan lainnya tidak dibunuh.

Versi lain yang diberikan Harun Nasution, tampaknya perlu dipertimbangkan. Menurutnya, al- Hallaj dituduh punya hubungan dengan gerakan Qaramitah, yaitu satu sekte Syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan Ibn Qarmat di akhir abad XI M. Sekte ini mempunyai paham komunis (harta benda dan perempuan terdiri dari kaum petani milik bersama) mengadakan terror, menyerang Mekkah di tahun 930 M merampas hajar aswad yang dikembalikan oleh kaum Fatimi di tahun 951 M dan menentang Bani Abbas, mulai dari abad X sampai abad XI M. Jika yang dituduh ini memang benar adanya, al- Hallaj secara politis dan ideologis memang salah dan patut dihukum, tetapi jika hal ini hanya dituduh belaka, maka masalahnya jadi lain. Siapakah yang benar diantara merekah, apakah al- Hallaj yang dihukum atau mereka yang menghukum,pengadilan akhiratlah yang kelah mengadili mereka secara bijaksana dan objektif.

Selanjutnya untuk menempatkan al- Hallaj sebagai pembawa paham al- Hulul, dapat dipahami dari beberapa pernyataannya dibawah ini.

مُزِجَتْ رُوْحُكَ فِى رُوْحِى كَمَا تُمْزَجُ الْخَمْرَةُ بِالْمَاءِ لِزُلَالِ فَاِذَا امَسَّكَ شَيْءٌ مَسَّنِى فَاِذًا اَنْتَ اَنَا فِى كُلِّ حَالٍ

“Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jikaada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiaphal Engkau adalah aku.”

اَنَا مَنْ اَهْوَى وَمَنْ اَهْوَى اَنَا نَحْنُ رُوْحَانِ حَلَلْنَا بَدَنَا فُاِذَا اَبْصَرْتَنِى اَبْصَرْتَهُ وَاِذَا اَبْصَرْتَهُ اَبْصَرْتَنَا

 “Aku adalah Dia dan kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”

Dalam paham al- Hulul yang dikemukakan al- Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham al- Hulul merupakan pengembangan atau bentuk dari paham Mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Rabi’ah al- Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kedua kata- kata cinta yang dikemukakan al- Hallaj. Kedua, al- Hullul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang dialami al- Hallaj melalui al- Hulul, dengan kesatuan rohaniah yang dialami Abu Yazid dalam al- ittihad. Dalam persatuan melalui al- Hulul ini, al- Hallaj kelihatanya tak hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al- Hallaj, dirinya tak hancur sebagai ternyata dari ungkapan syairnya diatas.

Perbedaan antara ittihad al- Bustami dengan hulul al- Hallaj, dalam ittihad yang dilihat satu wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dalam syair yang dinyatakan al- Hallaj berikut ini.

اَنَا سِرُّ الْحَقِّ مَا الْحَقُّ اَنَا بَلْ اَنَا حَقٌّ فَفَرِقْ بَيْنَنَا

 “Aku adalah rahasia Yang Maha Besar, dan bukanlah Yang Benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka hendaklah antara kami.”

Dengan ungkapan al- Hallaj yang demikian itu, kita dapat menilai, bahwa pada saat al- Hallaj mengatakan ana al- haqq sebenarnya bukanlah roh al- Hallaj yang mengucapkan demikian, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al- Hallaj. 

  1. Pandangan Para Ulama Tentang al-Hulul

Hulul dan inkarnasi, kata ini mengisyaratkan “penitisan” Tuhan dalam diri manusia berupa masuknya sesuatu pada sesuatu lainnya. Hulul dipandang sebagai ajaran bid’ah yang dikecam oleh Kaum Allah yakni, orang-orang yang tahu bahwa “sang hamba tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan”, betapapun dekatnya mereka satu sama lain, dan bahwa “hanya Allah yang mengetahui Allah, hanya Allah yang melihat Allah, dan hanya Allah yang menyembah Allah”. Dalam tinjauan al-Hafiszh dan as-Suyuthi, keyakinan hulûl, ittihâd atau wahdah al-wujûd secara hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus.

Al-Imâm al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulûl atau wahdah al-wujûd jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini.

Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd adalah kesesatan dan kekufuran. Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulûl dan ittihâd adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan.

Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ ‘Ulumiddîn.

Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat al-Hayât (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.

Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut;

  • Mustahil sifat-sifat Allah yang Qadîm (tidak bermula) berpindah kepada dzat manusia yang hâdits (Baru), sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya.

  • Sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat Allah menyatu dengan manusia tersebut (hulûl dan ittihâd) .

Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihâd berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulûl dan ittihâd ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu.



WALIYULLAH DAN INSAN KAMIL

  1. Pengertian Al-Walayah

Secara bahasa kata al-walii berasal dari kata dasar al-walaayah yang artinya cinta dan kedekatan. Walayah (kewalian) menurut al-Hakim at-Tirmidzi adalah kedekatan hubungan seseorang dengan Allah dan merasakan kehadiran-Nya atas karunia-Nya. Al-Walayah melahirkan relasi antara Allah dengan hamba dalam bentuk al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Al-Walayah merupakan makramah ilahiyah (kemuliaan dari Allah) yang dianugerahkan kepada orang-orang tertentu yang menjadi pilihannya.


Ibnu Taimiyyah memandang bahwa al-walayah (kewalian) dapat dicapai oleh seorang hamba apabila hamba itu telah menunjukkan al-mahabbah (cinta) dan al-qurb (hubungan yang dekat) dengan Allah. Sedangkan al-‘adawah terjadi karena adanya al-bughdlu (kebencian) dan al-bu’du (hubungan yang jauh) dengan Allah.



  • Maqomat Al-Walayah (Jenjang Kewalian)

Imam Al-Hakim At-Tirmidzi membagi maqamat al-walayah kedalam 5 peringkat:

  1. Walayah Al Tauhid

Kewalian tauhid itu di tandai dengan memurnikan keyakinan dari syirik (menyekutukan Tuhan), meskipun jiwanya masih dkuasai oleh syahwat yakni berbagai dorongan rendah. Kedekatan ini termasuk qurbat al-ammah (kedekatan secara umum) bukan qurbat al-awliya (kedekatan para wali).

  1. Walayat Al-Sadiqin 

Jenjang kewalian ini dinamakan pula walayat hak Allah min al-sadiqin, kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi hak Allah. Dinamakan demikian karena ibadah dan ketaatannya dilakukan secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menenunaikan hak Allah atas diri nya.

  1. Walayat Al-Siddiqin

Orang mencapai jenjang kewalian ini disebut aulia Allah. Mereka adalah para wali hak-hak Allah yang mencapai puncak kesungguhan .

  1. Walayat Al-Muqarrobin

Menurut al-Hakim at-Tirmidzi, pencapaian tingkat kewalian ini merupakan anugerah Tuhan dan tergantung atas kehendak Allah.

  1. Walayat Al-Munfaridin

Kewalian ini adalah orang-orang yang meraih hubungan yang istimewa dengan Allah. Hingga peringkat keempat kewalian tersebut telah sempurna tetapi, Allah mengangkat salah seorang hambanya pada puncak kewalian dan menempatkannya pada posisi di hadapannya. Pada posisi ini ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada selain Allah. Ia berada pada genggaman-Nya dan merasakan kemanunggalan dengan Allah.

Menurut Ibnu Taimiyyah, wali-wali Allah itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Ashab Yamin muqtasidun dan Sabiqun Muqarrabun. 

  • Ashab Yamin Muqtasidun adalah mereka yang mendekatkan diri pada Allah dengan menunaikan hal-hal yang fardhu. Mereka melakukan apa yang diwajibkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang diharamkan. Mereka tidak memebebani diri dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah dan menahan diri dari hal-hal yang mubah.

  • Sabiqun Muqarrabun adalah mereka yang mendekatkan diri pada Allah dengan ibadah nafilah setelah menunaikan yang wajib. Maka mereka mengerjakan yang wajib dan juga yang sunnah, serta meninggalkan yang haram juga yang makruh. Sehingga ketika mereka mendekatkan diri pada Allah dengan semua yang mampu mereka lakukan dari apa saja yang dicintai Allah, maka Allah pun mencintai mereka dengan cinta yang sempurna, serta memberikan kenikmatan sempurna yang disebutkan dalam firmannya dalam surah an-Nisa:69


وَمَنْ يُّطِعِ اللّهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُوْلئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّنَوَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآء والصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ اُولئكَ رَفِيْقًا


“ Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang di berikan nikmat Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”


Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili 

Makna kata : {وَالصِّدِّيقِينَ} washshiddiiqiin: bentuk jamak dari shiddiiq, yaitu orang-orang yang jujur dan benar dalam perkataan dan perbuatan mereka dikarenakan jamaknya kejujurannya dan selalu mencari kebenaran.

{وَالشُّهَدَاءِ} wasysyuhadaa : jamak dari syahid, ialah orang yang gugur di dalam peperangan dan yang semisal mereka yang telah dipersaksikan dengan keshohihan Islam mereka dengan hujah dan argumentasi yang kuat.

{وَالصَّالِحِينَ} washsholihiin : jamak dari sholih, ialah orang yang menunaikan hak-hak Allah dan menunaikan hak-hak makhluk, baik jiwa dan amal serta lebih dominan kebaikannya dibandingkan dengan keburukannya. 

Makna ayat : Adapun ayat yang ke 69, {وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقاً} “Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, maka mereka bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dari para nabi, shiddiqiin, syahid, dan orang-orang yang sholih. Mereka adalah teman-teman yang baik.”. Ibnu Jarir telah meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, bahwa ayat ini turun menjelaskan kejadian yang terjadi pada sebagian para sahabat, “Wahai Rasul, tidaklah seyogyanya kami meninggalkanmu di dunia. Karena jika kau meninggalkan kami, maka kau akan mengangkat di atas kami dan tidak kami tidak akan melihatmu.” Maka Allah menurunkan ayat: {وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِك}. Dan kemikmatan yang diberikan kepada mereka adalah berupa iman kepada Allah dan ilmu terhadap apa yang dibenci dan dicintai oleh Allah serta taufik untuk melakukan apa yang disuka Allah dan menjauhi apa yang dibenci Allah di dunia ini. Dan kenikmatan yang diberikan kepada mereka di akhirat adalah para tetangga yang mulia kelak di surga akhirat sana. Shiddiq adalah orang yang beriman kepada ALlah dan Rasul serta membenarkan setiap apa yang datang bersama Rasul dan yang dikabarkannya. Para syahid adalah orang yang terbunuh di jalan Allah. Orang sholeh adalah orang yang menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak para hamba Allah secara sempurna dan tidak ada celah. Dan firman Allah {وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقاً} Allah menghendaki bahwa mereka adalah teman-teman yang baik di surga, senang dengan melihatnya dan duduk-duduk bersama mereka karena mereka turun untuk menemui teman-temannya dan kembali ke kedudukan dan derajat mereka lagi yang tinggi.

Pelajaran dari ayat : Menjadi teman para nabi, shiddiq, syahid dan orang-orang sholeh adalah buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul.

Mereka inilah yang memandang bahwa hal-hal yang mubah dapat menjadi ketaatan yang mendekatkan mereka pada Allah.

  1. Pengertian Insan Kamil

Insan kamil berasal dari gabungan dua kata bahasa arab yakni, insan dan kamil. Insan yang berarti manusia dan kamil yang berarti sempurna. Jadi secara Bahasa insan kamil mengandung makna manusia sempurna, yakni manusia yang dekat dan terbina potensi dan ruhaniyah nya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Inilah manusia yang seutuhnya yang mempunyai ketinggian derajat di hadapan tuhannya, sehingga mencapai kesempurnaan tauhid dan akhlak mulia.

Menurut Al-Jili dalam mencapai tingkat insan kamil, seseorang diharuskan :

  1. Mengamalkan Rukun Islam secara Baik

  2. Meyakini Rukun Iman, karena iman adalah cahaya dari cahaya-cahaya ilahi, maka melalui cahaya itu seseorang dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala.

  3. Senantiasa melaksanakan ibadah kepada Allah atas dasar khawf (takut atau cemas) dan raja’ (harap).

  4. Menempuh 7 maqam, yaitu : Taubat, inabah (taubat dari kelalaian terhadap Tuhan menuju kepada kondisi yang senantiasa ingat kepadanya), juhud, tawakal, rela, tafwidl (tawakal sebelum, sedang, sesudah berusaha), dan ikhlas dalam segala hal.

  5. Menguatkan kamauannya dalam cinta kepada Allah, mengingat Allah, dan melawan hawa nafsu.

  6. Tingkat al-Shiddiqiyyah (kebenaran) pada peringkat ini sufi mencapai tingkat ma’rifat.

Al-Jandi meringkas ajaran Ibnu Arabi dalam sepuluh ajaran prinsip yang menjadi prototipe seorang insan kamil. Berikut prinsip-prinsipnya:

  • Beribadah dan memurnikan akhlak

  • Berdzikir tanpa putus

  • Menghapus pemikiran yang melenakan

  • Memonitor kesadaran diri secara terus menerus

  • Muhasabah

  • Memperhatikan sang syekh dengan kesadaran hati

  • Membiasakan lapar

  • Berjaga dan mengurangi tidur

  • Banyak berdiam diri

  • Merasa rendah dan banyak menangis dalam bathin.

Dalil Naqli Dan Penafsiran

  1. Waliyullah 

Dalam al Qur’an surat Yunus ayat 62-64 Allah telah menjelaskan definisi wali Allah yang berbunyi sebagai berikut:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونََالَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ َ هُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ َ

“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga – (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.

Tafsir Ibn Katsir

Allah memberi kabar, bahwa wali-wali-Nya adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Sebagaimana Allah menjelaskan keadaan mereka kepada diri mereka, maka barangsiapa yang bertakwa, jadilah dia wali Allah, maka: laa khaufun ‘alaiHim (“Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka.”) Maksudnya, dalam menghadapi ketakutan dan kengerian di akhirat. Wa laa Hum yahzanuun (“Dan tidak [pula] mereka bersedih hati.”) Yaitu, atas sesuatu yang di belakang mereka di dunia.

Abdullah bin Mas’ud, `Abdullah bin `Abbas dan sebagian ulama salaf berkata: “Wali Allah adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Malik al-Asy’ari, ia berkata, Rasulullah bersabda:  “Akan datang suatu kaum dari (antara) manusia-manusia dan suku-suku, di antara kaum itu belum pernah tersambung tali persaudaraan, mereka saling mencintai karena Allah dan berjuang (bersama-sama) karena Allah. Pada hari Kiamat, Allah menyediakan untuk mereka mimbar-mimbar dari cahaya, kemudian Allah menyuruh mereka duduk di atasnya, pada saat orang-orang dalam keadaan ketakutan, mereka tidak dalam ketakutan, mereka adalah wali-wali Allah yang tidak ada ketakutan atas mereka dan mereka tidak pula bersedih.” (Hadits ini adalah potongan dari hadits yang panjang)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu ad-Darda’ dari Nabi saw. mengenai firman-Nya: laHumul busyraa fil hayaatid dun-yaa wa fil aakhirati (“Bagi mereka kabar gembira di dalam kehidupan dunia dan [kehidupan] di akhirat,”) beliau bersabda: “Mimpi yang baik adalah, yang orang mukmin bermimpi dengannya, atau diperlihatkan untuknya.”

Imam Ahmad berkata dari Abu Dzar, sesungguhnya di berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah tentang seseorang yang mengerjakan suatu amal lalu orang-orang memuji dan menyanjungnya?” Maka Rasulullah bersabda: “Itulah kegembiraan seorang mukmin yang disegerakan.” (HR. Muslim)

Pendapat lain mengatakan, yang dimaksud dengan berita gembira adalah berita gembira dari Malaikat untuk orang mukmin, ketika dia dihadirkan ke surga dan diberi ampunan. Sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dam janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh di dalamnya yang kamu minta, sebagai hidangan (bagimu) dari Allah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Fushshilat: 30-32)

Adapun kegembiraan mereka di akhirat adalah, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari Kiamat) dan mereka disambut oleh para Malaikat. (Malaikat berkata): ‘Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.’” (QS. Al-Anbiyaa’: 103). 

Dan Allah Ta’ala pun berfirman: “Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): ‘Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.’” (QS. Al-Hadiid: 12) 

Firman-Nya: laa tabdiila likalimaatillaaHi (“Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji janji) Allah.”) Maksudnya, janji ini tidak akan diganti, tidak diingkari dan tidak diubah, bahkan telah diputuskan, ditetapkan dan pasti terjadi.

Dzaalika Huwal fauzul ‘adhiim (“Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”)

Oleh karna itu menurut terminologi al-quran bahwa para waliyullah itu adalah mereka yang tidak di hinggapi oleh perasaan khawatir atau sedih, mereka beriman dan bertakwa serta bagi merekalah sebenarnya berita gembira didalam kehidupan dunia dan akhirat.

Di dalam surat yunus ayat 62 ada lafadz “Aulia Allah” lafadz tersebut di artikan sebagai lawan kata dari musuh-musuh Allah, seperti orang kafir dan musyrik. Waliyullah sebagaimana ditujukkan pada ayat sesudah nya berarti orang-orang mukmin dan muttaqien, yaitu orang-orang yang beriman dan bertaqwa yang tidak takut terhadap apa yang akan terjadi, hilang perasaan sedih atas kenyataan yang ia alami, serta tercapailah ketentraman dan ketenangan di dalam kehidupannya. Demikian pula ia dapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat sehingga Allah ridha kepadanya.

Berdasarkan kriteria yang disebutkan dalam ayat di atas, Imam Abu Ja’far At-Thahawi memberikan sebuah kaidah:

اَلمُؤمِنُونَ كُلهم اولياء الرحمن,وأكرمهم عنداللّه أطوعهم وأتبعهم للقرآن

 “Setiap mukmin adalah wali Allah. Dan wali yang paling mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al Qur’an.”

Dan ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir mengatakan “Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga setiap orang yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah.”

Berdasarkan definisi yang disebutkan pada ayat di atas serta beberapa keterangan ulama, dapat disimpulkan bahwa wali Allah adalah setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan konsekuensi imannya dengan melakukan ketaatan kepada-Nya. Kedekatannya dengan Allah sebanding dengan keadaan iman yang ada pada dirinya.Setiap mukmin, berpeluang untuk bisa menjadi wali Allah. Selama dia berusaha berjuang untuk menjadi mukmin yang taat, mengikuti ajaran Al-Quran dan sunah sebagaimana yang didakwahkan para sahabat.

Adapun hadits tentang waliyullah yaitu sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَ,يَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ

Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhya Allah Ta’ala berfirman : ‘Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku maka Aku telah mengumumkan perang dengannya. Tidak ada taqarrubnya seorang hamba kepada-Ku yang lebih aku cintai kecuali dengan  beribadah dengan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (perkara-perkara sunnah) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya akan Aku lindungi.’ ” (HR. Bukhari)

  1. Insan kamil

Menurut Murtadha Muthahhari Insan kamil dapat dikatakan adalah sosok manusia yang sempurna dari segi akhlak dan sifatnya dan mengarah pada hal yang baik dan positif, sosok Insan kamil ini dapat diketahui dengan beberapa kriteria atau ciri-ciridiantaranya:

  • Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 60:

 وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).(Q.S al-Anfal : 60) 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Dan siapkanlah -wahai orang-orang mukmin- apa yang bisa kalian siapkan, baik berupa jumlah pasukan maupun peralatan perang, termasuk menyiapkan kuda-kuda untuk persiapan jihad fi sabilillah, guna menggentarkan hati musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian, baik dari golongan orang-orang kafir yang senantiasa menunggu-nunggu kesempatan untuk menyerang kalian maupun golongan-golongan lainnya. Kalian tidak mengetahui siapa mereka dan apa yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka dari rasa permusuhan. Hanya Allah yang mengetahui siapa mereka dan apa yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka. Dan harta yang kalian belanjakan, sedikit maupun banyak, akan diganti oleh Allah di dunia. Dan Dia akan memberi kalian ganjaran yang sempurna di Akhirat tanpa pengurangan sedikit pun. Maka bergegaslah membelanjakan harta kalian di jalan Allah.

Dalam ayat diatas dapat kita pahami bahwa kesehatan jasmani dan kuat adalah modal untuk menegakan agama Allah maka dari itu untuk dapat menegakkan agama Allah dan menjadi manusia baik dimata Allah maka jasmani yang sehat dan kuat sangatlah diperlukan.

  • Cerdas dan pandai. Hal ini sejalan dengan ungkapan Allahdalam surat az-Zumar ayat 9 sebagai berikut :

مَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Artinya :(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang barakAllah yang dapat menerima pelajaran.(Q.S az-Zumar : 9)

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi Ayat ini membandingkan antara orang yang menjalankan ketaatan kepada Allah dengan orang yang tidak demikian, dan membandingkan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, yaitu bahwa hal ini termasuk perkara yang jelas bagi akal dan diketahui secara yakin perbedaannya. Oleh karena itu, tidaklah sama antara orang yang berpaling dari ketaatan kepada Tuhannya dan mengikuti hawa nafsunya dengan orang yang menjalankan ketaatan, bahkan ketaatan yang dijalankannya adalah ketaatan yang paling utama, yaitu shalat dan di waktu yang utama, yaitu malam. Allah menyifati orang ini dengan banyak beramal dan menyifatinya dengan rasa takut dan harap, rasa takut masuk ke neraka karena dosa-dosa yang lalu yang telah dikerjakannya dan rasa berharap masuk ke surga karena amal yang dikerjakannya. Yakni mengenal Tuhannya, mengenal syariat-Nya dan mengenal pembalasan-Nya serta mengenal rahasia dan hikmah-hikmahnya. Yakni tentu tidak sama sebagaimana tidak sama antara siang dan malam, antara terang dan kegelapan, dan antara air dan api. Mereka memiliki akal yang membimbing mereka untuk melihat akibat dari sesuatu, berbeda dengan orang yang tidak punya akal, maka ia menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Sehingga mereka mengutamakan yang kekal daripada yang sebentar, mengutamakan yang tinggi daripada yang rendah, mengutamakan ilmu daripada kebodohan dan mengutamakan ketaatan daripada kemaksiatan. 

Dalam ayat diatas dikatakan adanya perbedaan antara orang yang mengetahui atau pandai dengan orang yang tidak tau dan juga perbedaan orang yang cerdas dan tidak maka dari itu manusia yang sempurna memiliki kecerdasan dan kepandaian untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

  • Qalbu Yang Berkualitas

Kalbu yang ma‘ripatitu adalah kalbu yang berisi iman dan takwa kepada Allah Swt, Kalbu yang beriman itu ditandai salah satunya adalahbila ia khusu dalam mengerjakan shalat, dan disebutkan ayat-ayat Allah maka bergetarlah hati mereka lalu bersujud dan menangis.

‘Abdillah bin ‘Umar bin Khatab mengajak untuk menguatkan kepercayaan kepada Allah SWT, sedikit berpikir dalam ta’at kepada Allah dan memperbaiki ibadah pengabdian, sehingga seseorang dapat mencapai derajat muttaqin (orang yang bertakwa sempurna) serta ikhlas untuk menjadi insan kamil. sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah SWT :

مَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ َالذِينَ إذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالمُقِيمِي الصَلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

 ‘’Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka’’. (Q.S. Al-Hajj : 34-35).

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram 

34. وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا (Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan) Yakni Kami jadikan tempat dan hari raya untuk menyembelih kurban sebagai pendekatan diri kepada Allah. لِّيَذْكُرُوا۟ اسْمَ اللهِ (supaya mereka menyebut nama Allah) Dan menjadikan manasik mereka hanya untuk Allah semata. عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ الْأَنْعٰمِ ۗ ( terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka) Yakni terhadap penyembelihan hewan yang direzekikan kepada mereka. فَإِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ (maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa) Dia-lah yang menurunkan seluruh agama samawi. فَلَهُۥٓ أَسْلِمُوا۟ ۗ (karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya) Dengan tunduk dalam ketaatan dan ibadah-Nya. وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh) Yakni tunduk, patuh, dan ikhlas kepada Allah. Yakni Hai Muhammad berilah kabar gembira kepada mereka berupa pahala yang besar dan pemberian yang banyak yang telah disiapkan Allah bagi mereka.

35. الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ ((yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka) Yakni benar-benar takut dan khawatir akan menyelisihi-Nya karena mereka memiliki keyakinan yang sempurna dan keimanan yang kuat. وَالصّٰبِرِينَ عَلَىٰ مَآ أَصَابَهُمْ (orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka) Berupa ujian dan cobaan dalam menjalani ketaatan kepada Allah. وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنفِقُونَ (dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka) Mereka menyedekahkannya pada berbagai jenis kebaikan.

Firman Allah SWT yang lain yang artinya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

 ‘’Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal’’. (Q.S. Al-Anfaal : 2).

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah Al-Qur’an ini adalah kitab yang diturunkan kepadamu wahai nabi, maka jangan sampai kamu tertekan dalam menyampaikannya kepada manusia, meskipun mereka mendustakan dan memfitnahmu, Sesungguhnya Allah adalah penjaga, penyelamat dan pemeliharamu. Kami menurunkannya kapadamu supaya kamu memberi peringatan orang yang bermaksiat kepadaNya tentang hukuman Allah dan pengingat bagi kaum mukmin tentang keutamaan Allah SWT

Hakekat takwa menurut Imam Karmani ialah beriman. Sebab maksud dari takwa ialah menjaga diri dari segala perbuatan yang mengantar ke arah kemusyrikan. Dengan demikian memberikan pengertian, bahwa sebagian dari orang yang beriman ada yang dapat  mencapai hakekat iman yang sebenarnya, dan sebagian yang lain ada yang tidak dapat mencapainya. Alhasil, iman seseorang itu dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Maksudnya, sesungguhnya iman dimuthlakkan atas membetulkan dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dilakukan dengan perbuatan, dan iman itu bisa berkurang atau bertambah sesuai dengan berkurang dan bertambahnya tiga komponen tersebut.



















DAFTAR PUSTAKA

Said Agil Husin alcMunawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) cet. III, h. 365

Haderanie H.N, Ilmu Ketuhanan Ma’rifat Musyahadah Mukasyafah, Mahabbah, (surabaya: CV Amin, tt.), h. 7.

Juhaya S. Praja, Model Tasawuf Menurut Syari’ah, (Suryalaya: Lathifah Press, 1995),cet. I, h. 4.

Muhammad Nizam as-Shofa, Mengenal Tarekat (Naqsyabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah), (ttp: Risalah Ahlus-Shofa wal Wafa, tt), h. 11 dan 13

Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (solo : Ramadhani,  1995), cet. XI, h. 67.

Badrudin “Akhlak Tasawuf” (Serang: IAIB PRESS, 2015)

Ensiklopedi Tasawuf jilid II, (Tim Penyusun UIN Syarif Hidayatullah. 2008), Hal. 798.

Tyll Zybura. Islamic Mysticism, (Quelle: http://www.ruhr-uni-bochum.de/orient, 1999), 

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), Penjelasan ini didapatkan dari mata kuliah,

A lesson on Islamic Mysticism. Dr. Sayyed Hossein Miri, (ICAS Jakarta, 2005)

Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, (Dorset : Element Books, 1989)

Surahman, Cucu. Thesis: The Integration of Shari’ah, Tariqah and Haqiqah according to Sayyid Haidar Amuli, (Jakarta: ICAS, 2008).

Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, (Dorset : Element Books, 1989),

Yatsribi, Agama & Irfan: Wahdat al-Wuju dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama. Diterj. Muhammad Syamsul Arif. (Jakarta: Sadra Press, 2011) Badrudin, Akhlak Tasawuf, (Serang, 2015).

Ibnu Farhan, Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi, Jurnal YAQZHAN Volume 2, Nomor 2, 2016.

Miswar, Maqamat  (Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam  Proses Bertasawuf), Jurnal ANSIRU PAI Vol. 1 No. 2, 2017.

Abun Bunyamin, Tafsir Al-Maarif.

Al-Utsaimin, M. b. (2012). Syarah Hadis Arba'in. Solo, Indonesia: Ummul Qura.

Anonim. (t.thn.). -ahlusSunnah-wal-jamaah-mengajak-manusia-kepada-akhlak yang-mulia-dan-amal-amal-yang-baik. Dipetik september 21, 2019, dari Almanhaj: https://almanhaj.or.id/1299-ahlus-sunnah-wal-jamaah-mengajak-manusia-kepada-akhlak-yang-mulia-dan-amal-amal-yang-baik.html

Anonim. (t.thn.). Surat As-Syams Ayat 9. Dipetik september 21, 2019, dari Tafsir Web: https://tafsirweb.com/12747-surat-asy-syams-ayat-9.html 

Bahrudin. (2015). Ahlak Tasawuf. Serang: IAIB PREES.

Fahrudin. (2004). Pendidika Agama Islam. Tasawuf132Jurnal, 12, 2.

Hamdani. (2007). Rahasia Sufi Bertemu Tuhan. Yogyakarta: Al-Furqan.

Pentingnya Tazkiyatun Nufus. (t.thn.). Dipetik september 21, 2019, dari  Muslimah: https://muslimah.or.id/7956-pentingnya-tazkiyatun-nufus.html

https://pengusahamuslim.com/404-muraqabah-allah-merasa-selalu-diawasi-allah.html

Dr. H. Badrudin, M. Ag. 2015. akhlak tasawuf. Serang : IAIB PRESS. 

Drs. Ahsin W. Al-Hafidz, M.A, kamus ilmu al-qur’an. Jakarta 

Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul Ayat

Dr. H. Badruddin, Akhlak Tasawuf, (Serang: Iaib Press 2015), cet. II

https://alquranmulia.wordpress.com/2015/12/09/tafsir-ibnu-katsir/

Syekh Muhammad ali as-shobuni, tafsiirul aayah ahkam, Cet. I, 1999 jilid I, h. 442 bab. Taqorrub ilallah bilhadyi wal adhoohiy. 


http://ameena-faqir.blogspot.com/2012/03/makalah-ilmu-tasawuf-konsep-mahabbah.html (diakses tanggal 29 agustus 2012).  

Asmaran As, Pengantar Study Tauhid. Jakarta: Rajawali Prees, 1992.

https://tafsirweb.com/7127-surat-al-qasash-ayat-77.html

Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis. Yogyakarta: Azna Books, 2010. 

Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung: Pelita,1969.

 Musatafa Zuhri, kunci Memahami Ilmu tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1985.

Harun Nasution, Tasawuf, dalam Budh Munawra Rachman (ed.), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.

Abd. Kadir Mahmud, Qadiyat al-Tasawwuf. Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.th. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996.  

Jamal al-Din Abi al-Faraj ibn al-Jauzy, Shfat al-Shafwah. Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al‟Ilmiyyah, 1989 M./1409 H.

H. R. Gibb, Shorter Encyclopedia of Islam. London: Luzac & Co, 1961. 

Abd al-Kadir Mahmud, Al-Falsafah al-Shufiyyag fi al-Islam. t. tp: Dar al-Fikr al‟Arabi, 1966).

Abd al-Kadir Mahmud, Al-Falsafah al-Shufiyyag fi al-Islam. t. tp: Dar al-Fikr al‟Arabi, 1966. 

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjaimas, 1984.

AJ Arberry,  Pasang Surut Aliran Tasawuf, Sufism An Account of the Mystic of Islam. Bandung: Mizan, 1985.

Usman Ismail, Asep.Apakah Wali Itu Ada, Jakarta: Rajawali Pers. 2005

Taimiyyah, Ibnu. Al Furqon Bayna Awliya’ al-Rahman wa Awliya’ al-Syaithan.Beirut: al-Maktabah al-Islami. 1390

Barakah, Abd. Al-Fatah Abdullah.Al-Hakim Al-Tirmidzi Wa Nadhariyatuhu fi al-Walayah, jilid 1 dan 2 , Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah.1971

Badrudin ,Akhlak Tasawuf. Banten: IAIB Press. 2015

Ali, Yunasril,Manusia Citra Ilahi.Jakarta: PT. Temprint. 1997

Muthahhari,Murthado.Manusia Sempurna. Jakarta: lentera. 2003

Dapartemen Agama RI.Al-HikmahAl-Qur‟an dan terjemahnya. Bandung: Diponegoro. 2010

Mahali, A Mujab.Insan Kamil.Yogyakarta: BPFE YOGYAKARTA. 1986

Mursito, Lilik. 2015. Wali Allah Menurut Al-Hakim At-Tirmidzi Dan Ibnu Taimiyyah. Jurnal KALIMAH. Vol. 13, No I, Hal. 9.

MAKALAH TAKHALLI DALAM TASAWUF

                                                                   TAKHALLI DALAM TASAWUF Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tug...